Posts

Showing posts from August, 2008

Lempar Kata, Siapa Menangkapnya? Bagian 3

TSP : suvenir, printer, setrika, kotak perhiasan, kerupuk, magic jar, kalender, tikar, kapas, spidol, kamera. Siapa mau ikutan? Ini puisiku hasil kata-kata itu. Ini Bukan Bagaimana Memilih Mati Kupilih pil tidur sebagai suvenir sebab malam menggeliat bak kerupuk di penggorengan Lalu mimpi adalah kotak perhiasan yang sempurna seperti sebuah sajak tanpa kamera hanya ada kalender bekas dan spidol di tangkai bulan, kanak-kanak dalam kepalaku berebutan menggambar Jika ada yang bergumam, pastilah ia yang sejak tadi memegang setrika mencoba meluruskan hidupnya Tapi ini malam begitu berisik, seperti ada yang tengah memilih bagaimana ia akan mati Padahal di suatu sudut, telah terhampar tikar , nasi hangat ala magic jar dan lauk yang ikhlas disendok Sebagaimana catatan di atas printer, aku akan menggeser satu tuas untuk hidup selamanya atau jadi selembar angan Dan ini bukan bagaimana memilih cara mati, tapi hanyalah sapa seringan kapas pada dada dan hari berarus deras 2008

Lempar Kata, Siapa Menangkapnya? - Bagian 2

Ada 10 (sepuluh) kata lagi dilempar oleh Hasan Aspahani , yang setelah saya hitung ternyata ada 9 (sembilan) yaitu ; - kancing, - kasir, - saku, - pasir, - akar, - terung susu, - kamera, - asbak, dan - pagar. Dan inilah sajak saya yang dibuat dengan 9 (sembilan) kata itu ; Duapuluh Delapan Larik Tentang Mimpi Di luar kita, mimpi merangkai dunianya sendiri. Sebuah dunia yang tumbuh dengan akar menjalar, daun yang lebar, dan batang yang besar. Hingga kita selalu mengira dunia kita adalah selembar tunas daun yang telah lama tercabut dari pohon mimpi itu. Dan itulah sebabnya kita selalu mengigau tentang buah, yang bahkan bakal bunganya pun kita belum pernah tahu. Buah yang diceritakan secara sempurna, seperti seorang tabib pernah menjelaskan kepadaku khasiat terung susu untuk kesehatan payudaramu. Atau seperti hadirnya seorang pelayan dengan asbak di tangannya segera setelah kau meraih sebungkus rokok dari saku bajumu. Lalu katamu ada pagar rahasia, melingkari tubuh ki

Lempar Kata, Siapa Menangkapnya?

M. Aan Mansyur mengajak saya memecah "kebuntuan" bersyair dengan melemparkan 5 (lima) buah kata benda. Saya menyambut "tantangannya" dengan melempar lebih dahulu 5 (lima) kata kepadanya; - radio - kolam renang - topi - kantong plastik - lemari dan dia menyambutnya dengan melempar kembali 5 (lima) kata kepada saya; - bendera - kartu nama - baju baru - capung - surat kabar lama Seharian mengamati 10 (sepuluh) kata yang tertebar ini, saya mencoba merangkai perlahan-lahan. Akhirnya saya berhasil membuat (lagi-lagi) 2 (dua) puisi dengan tema cinta sebagai berikut ; Kau di antara Bendera dan Iklan Baju Baru Mengenangmu seperti menyimpan bendera dalam lemari , walau dikibarkan hanya sesekali, selalu ia kusiapkan untuk hari-hari seperti hari ini Hari yang biru tenang seperti kolam renang , dan hanya aku yang takut tenggelam Karena mengenangmu adalah mengingat di halaman mana pada surat kabar lama , sebuah iklan baju baru yang pernah

Puisi Nanang Suryadi

Nanang Suryadi Sepatu Itu Tak Sendirian :dtr Sepatu itu tak sendirian. Di deras hujan. Ada mimpi yang menyerta. Menyapa. Serupa tarian. Angin menerpa. Air mencurah. Di ubun kepala. Sebagai kata. Mungkin mantra. Mungkin bukan apa-apa. Tapi kutahu, sepatu itu tak sendirian. Rupanya

Apakah Itu Tangis?

Ada bebunyian yang akrab kita dengar dari pecahnya kesunyian atap sirap karena gerimis kerap singgah pada lembar-lembarnya seperti juga ada yang mengaduh begitu riuh di antara dedaunan yang jatuh dari rumpun mawar di halaman kita Apakah itu yang kaumaksud dengan tangis dalam setiap perbincangan di malam-malam jauh dari rimbunan gemintang itu? Padahal ada langkah-langkah ke arah luar pagar, diselingi tatapan tak percaya bahwa ada peristiwa-peristiwa yang mengiris kita dari dalam dada 2008

Percakapan di Ubud

Bicaralah seperti sore jatuh di atas pematang sawah di antara teriak kanak mengoyak hening malai kuning padi, agar nampak sendu bebatang pinus yang meremang pada ombak rambutmu dan riak-riak sungai mengalun begitu lembut karena di hatiku, ada yang tengah bergelut Bicaralah kau dalam lincah tangan bocah bermain layang-layang, supaya yang luput dari genggaman kita senantiasa berhembus seperti para peziarah yang tak merasa gerah walau seharian di dalam bis d an kau terabadikan sementara dalam kamera digital bagai tubuh sintal para penari itu Jika kau sedang tak ingin bicara, dengarkanlah suara-suara malam sebab ada bulan renta yang hampir tenggelam bergayut di antara percakapan kita 2008

Sekeping Uang Logam

kau genggam juga erat-erat sekeping uang logam berkarat lalu terpejam matamu merapal doa yang bisu ceruk kecil di depan katedral seperti kenangan yang tersengal mengejar langkahmu di kota ini dan akan terus menemani hingga ada yang menggelinding begitu saja, jatuh ke dasar, tampakkan satu sisinya “The Wishing Well, The Wishing Well All my fortune only you can tell…” penuh bimbang di dada, kau melangkah juga ke pikuk pekan raya, ke hiruk pukau cahaya 2008

Rumah Kesunyian

Hanya angin, lalu tirai jendela menyapa bingkai-bingkai foto tua Deru sepeda, secepat berita yang menghilang dalam perpindahan kanal radio Terdengar lamat-lamat, seperti ada yang berkesiut, semacam suara bersahutan, atau sebuah perselisihan tentang hal-hal yang batal, dan yang gagal dalam sebuah penantian 2008

Dadaku Rumah Kapal

Beribu kembang dilarung peziarah pada danau yang dikepung kekuntum padma. Begitulah kulantun segala kesah atas kepergianmu yang begitu tiba-tiba. Dan kapal demi kapal dilepaskan penuh harapan, sebagaimana dari dada sebelah kanan darah mengalir pelan. Hanya di palung, ceruk yang tak pernah diselami, disebarkan tumpang saji. Hingga di jantung, betapa teruk resah ini terus meradang, tak mau pergi. Sebab peziarah terlalu bebal, selalu meminta mukjizat tanpa bisa ikhlas untuk memberi, maka dadaku, rumah kapal ; di mana ada yang ditambat untuk dilepas kembali. 2008

Akhirnya Sepasang Sepatu selesai cetak

Image
Puji Tuhan, buku yang digagas dan dibentuk dari 3 kumpulan sajak Pakcik Achmad, Bunda Inez Dikara, dan saya sendiri selesai dicetak. Buku itu diberi judul " Sepasang Sepatu Sendiri dalam Hujan " yang disunting oleh Mas TS Pinang, diberi komentar panjang oleh Abang Hasan Aspahani, seleksi lanjutan oleh Uda Raudal Tanjung Benua dan Mas Joni Ariadinata serta dilay-out oleh Kinu "Hujan Utara" dan oleh tangan Mbak Nur Wahida Idris dan Carang Book akhirnya buku ini lahir. Beberapa patah kata di buku ini; - "Kumpulan ini bukanlah sebuah selebrasi," Akmal Nasery Basral, jurnalis-penulis. - "Mereka sedang menunjukkan pada kita bahwa hidup begitu memikat justru karena ia (terlalu) singkat," Gratiagusti Chananya Rompas, founder BungaMatahari. - "...kontemplasi yang memadukan unsur peristiwa dan kegelisahan dalam diri," Kurnia Effendi, cerpenis-penyair. - "Ketiga penyair ini sedang menegur pembaca dengan cara yang berbeda," Sigit Susanto

Nyanyi Puji

Betapa harus kusamarkan diri agar dirimulah yang menjadi dan merajai segala tempat, setiap sempat, dan semua saat, seperti sebuah iqamat sebelum salat itu sendiri. Betapa harus kunistakan dan kusangkal diriku sejadi-jadinya supaya hanya engkaulah raja di atas segala kehendak, setiap tindak, dan semua jejak, selayaknya bayangan di tembok yang tak akan pernah kautengok. Namun kuinginkan kau sepenuh sungguh, sebagai ruh, dan tak jenuh mengisi kehampaan dada. Dan ku mau kau mengada pada segala jeda Sebagaimana laut rindu gelombang, kunyanyikan segala bimbang sebelum kau menjelang. 2008

Artikel di Republika

Sastra Mutakhir, Zaman Mati bagi Puisi Oleh : Hamdy Salad Dosen Seni Univ Negeri Yogyakarta Perdebatan sastra Indonesia mutakhir banyak dipenuhi oleh kutuk dan pujian yang tertuju pada dunia fiksi. Nyaris tak terdengar gema keindahan yang mengatasnamakan puisi. Bahkan tak juga menampak adanya kosa-kosa pergerakan yang memiliki aras pada kedalaman jiwa puisi. Seakan zaman menolak kehadiran puisi.Sementara dunia fiksi novel dan cerpen begitu cepat membengkak dalam ruang literasi terkini. Poster-poster kesusastraan, rehal pustaka dan toko buku dipenuhi karya fiksi yang ditulis oleh remaja dan orang dewasa. Para sastrawan bernama atau mereka yang sekedar bertahan untuk memenuhi pasar permintaan. Berbalik dengan fenomena di atas, sosialisasi dan penyebaran puisi hanya bergerak di ruang domistik. Begitu rentan dan getas. Beragam jenis dan bentuk puisi tak pernah lagi disentuh dan dibaca sebagai sumber inspirasi budaya. Akibatnya, ratusan ribu karya tersuruk dalam ruang hampa. Seolah

Aubade

Kukira menangis adalah senyum yang terbaik bagi sebuah perpisahan, maka Tuhan mencipta gerimis pada sore di antara pagar-pagar tinggi dan bayang akasia. Engkau akan menutup selendang dan melangkah pergi, sementara aku memandang lubang dadaku agar tak lekas penuh dengan luka-luka masa lalu. Sebelum malam, biasanya kita siapkan rumah agar selalu hangat, dan selalu engkau yang menyalakan api, menyiapkan kopi, dan membuka percakapan dengan awalan “masihkah…” Maka akan kutanyakan lagi sebelum kita saling meminta diri, “Masih ingatkah bagaimana kita bertemu dulu?”