Posts

Showing posts from February, 2017

Silencio

Dalam diam, ia mendengar surga bergemuruh. Malaikat jatuh menghunjam sebilah tuduh. "Neraka," katanya, "terletak di antara bimbang dan curiga." Maka dibawanya api suci ke relung tergelap dari dada. Ia mengungsikan diri, lebih jauh dari tubir tangis dan sumir percakapan lima gadis di depan pintu tanpa minyak lampu. "Penyesalan," katanya, "semisal epitaf. Segazal amsal leher zarafah -- apakah tinggi tajuk, ataukah wangi pucuk, membuat leher itu sulit ditekuk?" Dalam diam, ia mendengar pintu maaf diketuk. Seseorang, serupa bunda, ingin masuk. Hendak menjenguk. Sakit apakah gerangan? Selain yang sulit diterjemahkan dalam catatan tabib yang tekun. Dalam racauan mantra Sang Dukun. Ia ingin sekali membuka dada. Untuk menerima sepi hanya sebagai suasana. Dan menggantinya dengan percakapan paling akrab dari dukana. 2017

Shigeru

“Aku hendak menjangkau surga,” katamu. Dan ia mendengar langkah-langkah, guman doa, dan isak di antara pujian seperti gelombang yang belai-membelai dan mengirim pucuk ombak di pantai. “Kau mau mendengar kisahku?” Kau bertanya. Ia hanya melihat altar yang penat, lilin berpendar tapi dingin suasana. Tanda salib dibuat dengan sentuhan di dahi, pundak, dan dada. Ia tak melihat matamu basah. “Katakan! Katakan kalau kau mencintaiku,” Teriakmu teredam seluruh dinding sunyi. Dan ia tak mengerti, tak akan pernah mengerti, mengapa perpisahan bisa terasa megah? 2017

Agnus Dei

Tak ada yang berubah meski bom telah tercurah. Kotamu tegak. Kubah-kubah bangunannya putih perak. Asap hitam yang tadi naik telah turun bersama pekik mereka yang gugur. Di tembok-tembok terpampang peringatan – hidup adalah keberanian untuk berjuang! Selamat jalan. Selamat berperang. Sepasang orang tua melepas pelukan anak-anak mereka. Demi negeri ini, segala senapan diisi. Demi Tuhan yang tak pernah mati. Tak ada yang berubah meski bom telah tercurah. Karena kita telah lama jadi domba yang dilepas ke padang serigala. 2017

Enigma

Buah telah terpetik dan tak akan pernah bisa kembali ke carangnya. Dan cinta akan merupa doa sepanjang perjalanan, tak akan kembali, sebelum kau pergi dan datang lagi. Kau pasti akan menunggu, seperti tanah menanti benih, seperti masa panen di ingatan para petani itu. Sedangkan cinta adalah bentuk gerabah yang sempurna jika putarannya telah berhenti, sebelum pergi ke tungku bakaran. Ia bukan ciuman di hari pernikahan. Bukan juga jejas ombak di pasir pantai. Cinta adalah tetes tangisan ke atas nisan. 2017

Kota

Ia akan datang dan mengetuk pintu rumahmu seperti seseorang tersesat yang di Sodom dan menyalahkan nasib -- hidup yang berkutat dari kutuk ke kutuk. Sebentar, api sudah terlihat di langit. Sementara kau bingung menyuguhkan: kopi atau teh pahit? Ia terlihat tenang ketika duduk, sedikit mengantuk tapi mengingat -- ada yang harus jatuh dengan keras. Entah sedikit rasa gugup atau sesaat mimpi buruk. Aduh, orang-orang mengepung jalan dan berkerumun di gang-gang sempit. Mengapa kau tetap bertahan bahkan bertanya: Sudah lewatkah masa sulit? Ia belum mau mengajakmu ke luar dan mendesakmu beranjak. "Jangan lihat!" katanya, "Sebentar lagi akan ditegakkan tiang-tiang garam." Sebentar lagi. Sebelum datang malam. Dan kotamu akan penuh seperti dada perempuan. 2017

Dalam Taman Mawar

: untuk Ale Kau bangkitkan lagi kekaguman seperti pagar. Ia yang putih dan tak ingin letih. Kabut akan menyekanya dengan sejarah perih. Dalam taman mawar, kau tak bicara sorga -- tapi duri. Ia yang serupa rindu seorang ibu. Siapa tertusuk dan mengaduh pilu? Dengan bahasa daun dan rumput lembut, kakimu melangkah ke rumpun paling tengah. Lihatlah! Yang mekar dan merah. Mayat serdadu yang tadi harumnya kaucium pada kitab-kitab hukum. 2017

Memasak Rajungan

Kau tak perlu kepura-puraan atau ketamakan untuk bisa mencium wangi lautan pada duri-duri sepanjang kakinya yang tak kunjung alum. Ia seperti paderi yang berdoa ketika menyaksikan peristiwa injili tiga kota jauhnya dari Thebes, Yunani. Hanya satu dari tujuh atau tujuh puluh dari mereka terpilih untuk menuliskan berapa siung bawang merah dan putih diiris dan ditumis. Dan hanya ia yang patuh pada hidup selibat mampu meneruskan nikmat mana kau pilih -- bertemu Tuhan atau bertamu di lidah tuan yang mencecap dan menjilati sisa kari. Jika kau merasa ini kota jauh dari pelabuhan, maka ingatlah -- dari Kirene, seorang berjalan jauh hanya untuk ikut memanggul salib. 2017

Tuhan

Sebelum pergi tidur, Ia periksa lagi segala yang tadi pagi dibangunkan matahari. Apakah tadi yang kuncup sudah mekar? Apakah Si Sakit sudah bisa bangkit dan melucu di depan cucu? Apakah ibu yang menangis pilu karena kematian anaknya itu sudah bisa menangis karena rindu? Setelah puas memeriksa semua dengan saksama, Ia membuka kitab yang hampir setua pikirannya. Dibacanya kalimat pertama dan dikenang apa yang telah Ia lakukan dulu. Ia tak akan pernah lupa pada rayu malai kat -- jangan Kaucipta dia! Ia ingat ada yang bersumpah setia tapi memilih pergi. Ia juga ingat, betapa pintar ciptaannya menghafal aneka nama binatang dan tanaman sebelum bingung bagaimana nanti dia bisa bertambah banyak untuk menguasai bumi. Baru sampai Ia mengingat kapan tepatnya dua ciptaannya itu diusir dari taman, matahari sudah terbit lagi. Ah, mungkin sudah takdirnya tak bisa tidur! Ia bergegas ke balik kabut di kaki bukit itu. Menyapa burung-burung dengan kasihnya yang begitu a