Posts

Showing posts from August, 2016

Sebuah Pasu, Sebuah Lagu

Aku kembali! Tidak. Aku tidak pernah pergi. Aku tidak pernah jadi perigi. Aku pasu. Sepalsu-palsunya aku, aku tetap tak kemana-mana. Aku di sini. Tidak. Aku tak pernah berhenti. Aku pasu. Diusap berapa kali, aku tetap tak hendak berhenti bernyanyi. Aku berlagu. Di dadamu, aku bernyanyi pilu. Menyaru rayuan para peri. Mesyuarat ratapan yang kudengar setiap hari -- Pergi! Pergi! Pergi ke perigi! Menimba lagi. Menimbang-nimbang persoalan diri. Di sini, hanya terpantul pertanyaan dini -- siapa aku ini? Aku pasu. Bejana itu. Tak bijaksana kau berkaca padaku. Pergilah! Pergilah ke perigi. Ambil airmu sendiri. Lalu -- aliri ambisimu padaku. 2016

Ketika Pavarotti Menyanyi Pieta

“Ada yang lebih pedih daripada luka,” katamu, semisal menuliskan puisi tentang kasih. “Karena kasih itu sempurna?” Lelaki yang tampak lelah bertanya. “Karena kasih itu seperti seorang ibu.” Dia berbisik. Suaranya timbul tenggelam di antara isak. Dia memondong jasad anaknya. “Ada yang lebih tak pasti dari masa depan,” katamu, semisal mengira bagaimana puisi tentang kasih itu akan dibacakan. “Seperti saat ini? Ketika Pavarotti menyanyi Pietà?” Seorang perempuan, kukira ia – kekasih lelaki itu, ikut menimpali. “Seperti masa lalu,” katanya sambil terus menangis. Airmatanya seakan tak pernah habis. Tak kulihat lagi jasad anak yang sedari tadi dibawanya. Mungkin dia telah menguburkannya. (Atau waktu yang telah menguburkannya?) 2016

Dalam Kamandaka

: kepada penyair dharmadi Aku ke timur. Seperti busur memburu anak panahku, aku meluncur. Menata kembali yang hancur, yang nyaris lebur. Kenangan seperti bayang-bayang di jendela Kamandaka, Sayang. Mengada, membuatku mengaduh, lalu hilang dalam kecepatan tinggi. Tak sempat aku nikmati lagi. Kutinggalkan barat. Seperti gelap di langit yang nyaris padat. Perlahan kutanggalkan semua beban di garis penat. Aku merdeka, Sayang, dari masa lalu dan kesah yang dulu. 2016

Ia yang Pura-Pura Tak Peduli pada Apa yang Terjadi dalam Lagu Keroncong Pertemuan

Ia waktu. Pisau itu. Tak hendak dikeratnya tali janji sepasang muda-mudi itu. Tak juga akan ditetaknya rekat pelukan dan kisah kasih mereka. --"Sampai nanti? Sampai kita mati?" Ia waktu. Batu itu. Diberinya beban pada pundak keduanya untuk sebuah kenangan. Diteguhkannya semacam pondasi. Seperti cinta, yang utuh dan berani. -- "Dan kau ingin? Dan kau yakin?" Ia waktu. Cahaya itu. Yang perlahan meninggalkan pucuk kembang dan pohonan. Pura-pura tak peduli pada apa yang terjadi, tapi nanti ia menjadi rupa-rupa yang mengecutkan dan mengejutkan hatimu. 2016

Tak Jauh dari Telaga yang Tak Dikisah dalam Lagu Keroncong Dewi Murni

Tak jauh dari telaga, hujan dan aku saling membasahi. Aku harapan, yang hijau dan sepi. Ia langkah, yang terburu pergi. Bagimu, hujan mesti berhenti agar tercipta pelangi, dan harapan harus mengada karena rindu itu. Aku saksi, berbunga dan mewangi. Ia kenangan, peristiwa tak terperi. Di sepanjang lagu keroncong Dewi Murni, ia tak dikisah. Semacam resah yang ditutupi dan tak ingin digali. Padahal, pada lagu itu, kau berharap banyak hal yang semestinya aku dan hujan saling memberi. Seperti kesaksian dan kesedihan seseorang yang begitu merindu kekasih. Tak jauh dari telaga, ada jarak dari aku yang menunggu dan hujan yang tak sempat dituliskan itu. 2016

Beberapa Pertanyaan Untuk Pemuda Pejuang dalam Lagu Dinda Bestari

Tidakkah peluru mengajarkanmu kepastian sekaligus kesia-siaan? Kau bisa saja membuat lubang di dada seseorang atau sekadar mengalihkan perhatian. Meski kau dengar juga -- ada yang akan mengaduh. Sapu tangan atau selendang sutera akan membebat lukamu. Lupakah kau selipkan itu? Kau tak bisa berlari lebih jauh dari kenangan. Walau berulangkali maju mendekati mati, atau menjauh dari kesepianmu sendiri. Lebih gemuruh mana perang atau yang ingin segera meledak di dadamu itu? Kau begitu kuat untuk menahan hasrat menyebut namanya. Tapi -- selalu ada panggilan yang ingin kau sematkan dan kau selamatkan dari mimpi buruk di medan perang. Jika kita tak bisa bertemu, maukah kau terus menderapkan langkah dengan gagah pada hidup yang terasa berat sebelah? Sebab rindu adalah kisah untuk para pemburu, sedang cinta tak pernah jadi mangsa bagi sesiapa. 2016

Sst...Kau Tahu, Ada Harimau Bersembunyi dalam Lagu Naik Naik ke Puncak Gunung

Ia pandai mengelindankan belang hitam dan bayang pohonan. Ia baurkan bau bangkai rusa pada mulutnya dengan wangi teratai dan lantana. Ia samarkan degup jantungnya pada suara gugup kanak yang menyanyi di depan kelasnya. Sesekali, ia menyeringai, memerlihatkan taring yang tajam sempurna, hingga kau dengar tak ada 'a' panjang pada kata 'cemara' setelah 'kiri-kanan' yang kedua. 2016

Yang Hilang dari Lagu Ulang Tahun Seseorang

untuk H.N Setiap tahun, kau harus kembali, memungut dan menganggit cerita dari setiap kenangan. Seperti katamu, “Kesetiaan pada hidup yang sebenarnya, adalah sesuatu yang tak akan redup meski kelak aku tiada.” Kau benar. Hidup itu menyalakan kesedihan dalam diri, supaya terang dan tersenyum setiap orang yang berdiri melingkari. “Ziarahi dan doakan aku – katamu, “sebab hanya itu zirah yang selalu kupakai, setelah peperangan ini usai.” Aku tahu – kita terlahir sebagai pejuang. Paling tidak, agar terbilang dan tak terhilang. 2016

Mendengarkan When The Levee Break

Kita berkemas, Sayangku, bergesa menyimpan cemas dan mengikat harapan-harapan yang bakal lepas. Sebab esok adalah kerinduan yang belum tentu tuntas. Aku tak tergesa, hanya bersiap segera. Mengatur degup di dada, mengulur waktu yang hampir tiada. Hari ini adalah kemasan paling sempurna untuk meletakkan doa. Membuatku seolah begitu bahagia. Dengarlah, Manisku, suara-suara itu. Gemuruh tanggul yang runtuh. Kota dan kata-kata yang diucapkan tanpa rasa sabar. Jika sampai mereka mengepung, aku hanya tahu cintamu adalah tempatku berlindung. 2016