Posts

Showing posts from October, 2016

Joko Pinurbo: Seperti Bermain Bola, Hidup itu Bertekun dan Riang

Saya biasa menulis puisi, bahkan sebelum saya mengenal Coleen. ~ Wayne Rooney (Gelandang Manchester United)   SEPAKBOLA itu cerminan sebuah bangsa, begitu kata Joko Pinurbo, penyair dari Yogyakarta yang kerap disebut Jokpin, bicara setelah mengungkapkan kegusarannya lantaran di hotel tempatnya menginap selama berlangsungnya acara Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) 2016 mengacak siaran pertandingan liga Champion Eropa karena mereka menggunakan penyedia tayangan tv yang tidak mendapatkan izin penyiaran pertandingan tersebut. Menurutnya, bangsa Indonesia masih belum siap untuk bermain sepakbola. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia masih sulit untuk saling memaafkan di samping bekerjasama. Lihat saja setiap pertandingan sepakbola di Indonesia hampir selalu ada keributan. Bahkan di dalam kalangan sastrawan masih ada yang sulit berdamai menyinggung insiden antara Taufiq Ismail dengan Remy Silado dalam

Lebih Dekat Dari yang Kau Tahu

Ia lengkap. Paket kertas coklat dengan alamat dan penghantaran cepat. Seorang kurir mahir mendiamkan anjing penjaga rumah. Dentang genta dan suara langkah. Adakah yang kau tunggu? Ia keriangan. Sepeda dengan boncengan kotak pendingin berisi limun dengan denting botol beling. Bunyi kring-kring ada sepeda dan lagu balonku ada lima. Minggu yang bergerak dari satu ke lain gang di mata kepingin seorang bocah. Apakah kau tunggu itu? Ia kehangatan. Guyuran hujan dan teriak ibu mengangkat jemuran. Decak lidah ayah setelah menyeruput kopi tanda ia nikmati. Kruk-kruk-kruk induk ayam memanggil anak-anaknya di pekarangan. Tawa yang pecah di ujung gang, saat anak-anak sekolah berlomba pulang. Mengapa kau terus menunggu? Di pintu, di mana segala kenangan pulang dan berlalu, di tempat kau menunggu sesuatu, ada yang tak perlu kau cari. Ia lebih dekat dari yang kau tahu, bahkan lebih cepat dari waktu. Ia yang membuka diri, ketika kau sibuk mencari-cari – meminta kau seg

Orang-Orang Nyanyi di Atas Bukit

Mereka melepas susah dan sakit, mengepas dan mengemas senyum yang tak sedikit. Lima atau sepuluh ribu, aku tak tahu -- kata bocah beraroma ikan -- kalau kau mau turut, ambil tempat di penjuru. Mereka melompat seolah sembuh dari lumpuh. Memekik seperti telah terbebas dari cekik. Mari menari -- sambut seorang pemuda yang berkali bersiul, menjentikkan jari dan menggoyangkan pinggul -- Mau dansa apa? Ardha, boogie-woogie, flamenco, atau zumba? Saya ahlinya! Dilihatnya; ada gadis-gadis berhias lengkap, ada juga yang matanya sembap. Dari kaki bukit, terus diulur -- air sumur segar, berkirbat anggur, buah-buahan yang manis dan cukup umur -- sedang di ladang, di padang benih terus ditabur. Mereka bertemu Tuhan? Tanya seorang yang berjalan lamban. Tidak. Mereka kini lebih bisa tahan. Seseorang yang jangat wajah dan janggutnya sangat basah menyahut. Ia menduga orang itu baru tiba, tapi ucapannya terasa begitu lama mengendap dalam dada. 2016

Antonim

Burung tidak berkicau,                                      langit yang bernyanyi. Angin tak bergerak,                                  peristiwa berlari. Pohon tak butuh teduh,                                       laut tetirah di karang itu. Awan melesap dalam risau,                                             tak kutulis yang benar terjadi. 2016

Pelayaran di Waktu Malam

: Antonio Bueno Ia kira, begitu melewati kanal, dan menuju laut lepas – percakapan akan terasa bebal dan panas; sepantas menyoal ombak yang begitu biru oleh sinar lampu, atau layar yang mirip pemabuk itu. Tanjung masih terlihat dan bulan begitu bulat, dan kau kutip sajak lama -- yang lantak hanya kelak, karena kita tak bisa mengelak -- yang ia tambahkan: hidup beroleh bimbang dari geladak dan gelombang. Ia pikir – deru mesin dan baling-baling akan jadi gangguan selain mabuk laut dan kepala pening. Dan kenangan adalah hal paling terakhir setelah amis rebusan udang dan uap dingin anggur putih yang cepat hilang. Mari, katanya, kita bersulang! Mengambil bagian dari merasa kepahitan. Menambal kehilangan dari masa-masa keterasingan. 2016

Puisi-Puisi yang diilhami Permainan Kuartet Yusef Lateef

Yusuf Latif Membuka Pagi Yang lebih gugup dari kuncup waktu muntup semakin cepat. Dengan irama semenjana -- langkah-langkah pendansa. Ia muncul tiba-tiba, dengan kerak warna matahari tua. Disapukannya suara pada segala yang masih mengantuk. Dibelai sekali lagi bagian yang terkulai -- Bangun, dan bergeraklah! Goyangkan kecemasan. Lenturkan ketakutan. Hidup harus dibangun dengan sepenuh kesadaran. Ini bukan soal tari dan nyanyi -- sebab ia hanya meniupkan ruh pemberani. Lalu pergi. Dan meninggalkan ketukan-ketukan itu di dadamu begitu saja. Sampai kau merasa ini dunia tumbuh tak seperti biasa. 2016 Ketika Yusuf Latif Bersedih Hati Ada ular dalam keranjang! serunya. Ia mengancam kewarasan. Mengirimkan seribu satu upas di udara malam. Ini ular tak sembarang, bisiknya. Ia menjelma semacam demam. Menggigilkan dirinya di dalam kamar. Peganglah yang bergetar ini, pintanya. Seluruh hidup dan keinginannya tinggal debar -- dinding kamar, pot mawar, panorama d