Joko Pinurbo: Seperti Bermain Bola, Hidup itu Bertekun dan Riang

Saya biasa menulis puisi, bahkan sebelum saya mengenal Coleen.
~ Wayne Rooney (Gelandang Manchester United)
 
SEPAKBOLA itu cerminan sebuah bangsa, begitu kata Joko Pinurbo, penyair dari Yogyakarta yang kerap disebut Jokpin, bicara setelah mengungkapkan kegusarannya lantaran di hotel tempatnya menginap selama berlangsungnya acara Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) 2016 mengacak siaran pertandingan liga Champion Eropa karena mereka menggunakan penyedia tayangan tv yang tidak mendapatkan izin penyiaran pertandingan tersebut. Menurutnya, bangsa Indonesia masih belum siap untuk bermain sepakbola. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia masih sulit untuk saling memaafkan di samping bekerjasama. Lihat saja setiap pertandingan sepakbola di Indonesia hampir selalu ada keributan. Bahkan di dalam kalangan sastrawan masih ada yang sulit berdamai menyinggung insiden antara Taufiq Ismail dengan Remy Silado dalam event MUNSI 2016 di hari pertama.
 
Di samping itu, sepakbola itu sendiri sangat berkaitan dengan puisi. Jokpin mengatakan tiki-taka dalam permainan tim dari Katalunya yaitu Barcelona seperti sebuah puisi. Bahkan di luar negeri, sepakbola memang bertalian erat dengan puisi, contohnya Fabio Capello sering mengutip puisi-puisi yang ia gemari untuk berkomunikasi dengan para pemainnya atau berkomentar, demikian dengan Josep Pep Guardiola yang begitu menggemari puisi dan pernah melakukan recital puisi di Munich Literature House. Namun yang paling diingatnya betapa sepakbola sangat puitis adalah ketika pemain Barcelona Andres Iniesta mendedikasikan gol dalam final Piala Dunia 2010 untuk Dani Jarque, temannya yang juga pemain sepakbola yang telah meninggal dunia. Iniesta melakukan selebrasi dengan memperlihatkan kaus dalamnya yang bertuliskan “Dani Jarque, selalu bersamamu.” Begitulah sepakbola, di mana para pemainnya menjunjung tinggi sportivitas, humanisme, bahkan dari sepakbola dunia belajar untuk tidak melakukan rasisme.
 
Menyoal sepakbola, Jokpin tak lupa menyebut Romo Sindhunata yang mengaitkan sepakbola dengan falsafah hidup. Namun dia juga menyebutkan betapa lihai Zen RS menulis dalam bukunya Simulakra Sepakbola yang memperlihatkan betapa sepakbola bisa berkenaan dengan apa saja yang ada dalam hidup ini. Satu nama lagi yang disebut adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang pernah menulis esei Sepakbola dan Strategi Pembangunan Bangsa, yang sudah dikumpulkan dalam buku Gus Dur dan Sepakbola. Ketika disinggung mengenai tim kesukaannya, Jokpin tegas menjawab Barca (Barcelona) namun ia juga salut dengan Liverpool. Ia menambahkan bahwa sepakbola itu seperti kita menjalani hidup. Selalu penuh keterkejutan. Menang di penguasaan bola, selalu menyerang, tapi bisa kalah, atau sudah di menit-menit akhir dalam kondisi tertinggal ternyata bisa membalikkan keadaan. Karena itulah, menurutnya, ketika menjalani hidup yang ada hanyalah bertekun, dan yang lainnya akan ditambahkan. Jokpin menyinggung bahwa bertekun itu sejalan dengan ayat dalam Alkitab “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:33).
 
Selain masalah bertekun, sepakbola itu juga prinsipnya adalah sebuah permainan. Kegembiraan. Lihatlah Lionel Messi bermain, seperti anak-anak yang tak mau kehilangan bolanya. Keriangan seperti anak-anak itu akan membuat orang menjalani hidup tanpa kuatir. Selain sepakbola, salah satu cara untuk menggairahkan hidup atau khususnya berkenaan dengan mengembangkan metode penulisan sastra adalah dengan berwisata. Wisata sastra mungkin namanya, selorohnya. Ada beberapa metode penulisan kreatif yang sudah dilakukan oleh Jokpin dalam beberapa pelatihan. Mulai dari lempar 10 kata berpasangan, mengacak kata dari sesobek surat kabar, menuliskan puisi melalui foto dari telepon selular. Metode-metode itu sangat membantu para calon penulis menemukan kata-kata daripada harus memikirkan sendiri yang bisa mengakibatkan writer’s block.
 
Metode lain yang harus dicoba oleh penulis-penulis muda adalah wisata sastra. Pergi berkelompok ke suatu tujuan, ambil foto, wawancara dengan penduduk setempat, lalu dibuat tulisannya. Seperti yang telah dilakukan di Tulang Bawang Barat, nanti akan dilakukan oleh Ayu Utami di Solo, atau seperti yang telah dilakukan penyair muda dari Palembang, Arco Transept di beberapa museum. Tidak perlu menunggu biaya atau bantuan pemerintah, katanya, wisata sastra bisa dimulai dari sesama teman, dengan biaya sendiri. Pergi ke Grobogan atau Kedung Ombo seperti ketika ia masih muda dulu, atau ke Makassar. Pengalamannya mengikuti Makassar International Writers Festival yang lalu memberi kesan bahwa Makassar sudah begitu maju untuk urusan tulis-menulis di Indonesia bagian Timur. Ribuan orang duduk menyimak dalam sehari gelaran festival itu ,dan setiap kelas berbagi selalu penuh. Bisa dicoba dijajaki kerjasama program dengan komunitas di Makasar untuk acara semacam wisata sastra itu. Semisal dengan komunitas yang diampu M. Aan Mansyur.
 
Menyinggung soal berkarya, Jokpin mengatakan di tahun ini dia akan hiatus dulu, namun, dia mengatakan tengah mendalami butir-butir falsafah Jawa contohnya ini, “Menang aja umuk, kalah aja ngamuk.” Meskipun tinggal di Yogyakarta, Jokpin mengaku tidak mengerti wayang tetapi senang mendengarkan tembang macapat.
 

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun