Posts

Showing posts from October, 2010

Puisiku di Kompas, 24/10/10

Dedy Tri Riyadi Tiga Versi Nyanyi Ratapan Yesaya Meratapi Kebun Anggur Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Harapan yang Manis dan Sempurna, akan kutinggalkan Kau merana dan gersang, diliput semak duri, rumput, dan puteri malu. Kebun Anggurku, Kekasihku, Buah-buah Masam yang Kucampakkan ke luar pagar, telah kunantikan Kau dalam geram dan kecemasan, di menara jaga, di atas tembok, di lereng bukit subur. Lihatlah, pagar duri telah runtuh, awan hujan pun jauh, dan pokok-pokok itu tak lagi beranting, tak juga bersiang setiap carang. Berteman angin kering, aku setia menggemariMu, mengitariMu, Kebun Anggurku. Yeremia Meratapi Dua Kota Puteriku, Anak-anak Luka yang tak kunjung sembuh, yang kepadaMu airmataku tercurah siang dan malam, janganlah kecewa! Bukankah mereka tak berbeda dengan patung-patung sesembahan yang ada? Saling asing dan tak berbuat apa-apa sepanjang musim, selain bergunjing: “Ini luka siapa? Begitu ngangga dan berdarah sia-sia. Tak ada balsam dan tabib di sini.” Puteriku, Bau

Apa Kabar, Steven Kurniawan?

1. Betapa rindu kubayangkan sebagai kabel panjang dan tiang-tiang yang berjajar. Sebagai perpanjangan dari lenganku untuk memeluk pundakmu. Ada semacam getar tertata yang merambat; dari tiang terjauh, dari sebuah telepon genggam di kamarmu ( agar satu tanganmu bebas memainkan rambut, seolah-olah tanganku sedang mengelus kepalamu; tangan lainnya membuat sketsa seseorang tengah menelepon, dan telepon genggam itu kaujepit di antara dagu dan pundak, seperti ada lenganku menggamitmu ), lalu getar itu melompat riang dari satu tiang ke lain tiang dan sampailah ke gagang teleponku. Ahai! Getaran ini menyengat dahsyat seperti aroma tahun 80-an saat suara Lionel Richie sering terdengar di radio, mengucap: Hello... 2. Sudah lama aku tak mendengar sapaan; "Apa kabar, Steven Kurniawan?" Sebab, biasanya teman dan keluarga memanggilku dengan nama singkat, jarang yang menyebut secara lengkap. Aku tidak menduga suara di ujung telepon ini berasal dari sebuah jawatan, sebab nadanya terdengar ke

Lokan

Kematian sudah lebih dulu tinggal di dasar kolam. Lidahnya yang licin lagi lincah memilih cerita terbaik untuk diperdengarkan kepadamu sebelum aku tertidur di atas gelombang. Kau yang terbuka dan tertutup sesekali mengaduk lumpur dalam cahaya redup. Kaulah cangkang hidup penyimpan rahasia kelam yang kelak terlahir dari air, terkuak dari selaput lendir, terjebak dalam rupa takdir. Katamu; "Kehidupan diperam remang cahaya." Dan aku pun menyelam semakin dalam. Kematian sudah lebih dulu sampai, saat aku menggapai pinggiran yang begitu lekuk. Seakan menanti sebutir pasir dibentuk jadi mutiara. 2010

Merantau

Bangkit dari sisa anggur dan arang, dari rongga dada yang meradang. Merantau ke kota luka, kata-kata kutuk dan cela. Menjangkau yang tak sia-sia; mata cahaya, bunga cinta. Siapa dia, diam di bara semak-semak raya? Di atas bukit, dalam diam dan sakit. Aku yang cemburu, tak ingin yang lain. Ini seperti hari-hari menari, melanggam sunyi jadi lagu mimpi. Menjelajah pelosok makna, yang maya dari yang nyata. Membelah kemungkinan yang ada; puji dalam benci, suka dalam duka. Dia yang menyala-nyala, kini membakar segala. Segunung dendam dan tubuh yang lebam. Aku yang terusir, tak pernah bisa menyingkir. 2010