Posts

Showing posts from November, 2010

Jayadrata

1. Duhai gerhana, tenda patah tonggak, akulah yang merana karena kau tak bisa lagi berpihak. 2. Yang kusangka malam hanyalah ketakutan - Aku bukanlah aku jika tanpa bayangan, seregu pasukan atau orang-orang yang bisa kupandang. Adalah wajah Sang Panduputra, melingkup tahta Sindhunarendra, Dia, dengan Pasuphati di tangan, adalah kematian yang berjalan-jalan. Saat ini, dalam gelap yang menyala, aku hanya mengutuk dan merutuk, menelan segala serapah yang terlanjur tumpah di dekat meja judi Hastina. Demi Draupadi, inilah waktu yang suci agar hidupku lahir kembali sebagai orang yang mengerti, di balik kain panjang tanpa akhir itu, ada kutukan bagi nafsu birahi. Nanti, jika cahaya masuk ke celah tenda, kusambut maut dari tangan-tangan mereka semua dan biarlah mata Pasuphati basah darah. O Khrsna, di bawah kakimu kuletakkan kepala Jayadrata, aku yang tertawa pada kemenanganku. 3. Duhai matahari, terang teramat gelap, mataku, ya mataku, tak akan mampu menatap kisah seperti ini lagi. 2010

Pariksit

Panah dalam tenda, Ananda, taruhlah dekat dada. Peperangan ini belumlah usai, sejuta atau selaksa kita tetap tercerai. Tercabut hidup-hidup dari hidup sesungguhnya. Dan seseorang sekuat kuda merasa bisa – lebih dari semua. Ke tengah-tengah kemah kita, dia menjumpai mati. Seorang diri. Mematut hidup pada redup nama-nama yang telah tiada. Panah di dekat dada, Ananda, pertaruhan sesungguhnya; antara nyalang mata keris, atau nyaring suara tangis. 2010

Kau Bakar Juga

1. Kau bakar juga mawar dalam jambangan, hingga dada ini merah sempurna. Dan sebentuk cinta jatuh sebagai abu. Doa yang lama tersimpan, menguar dupanya. Dia tak lagi tegar, tak lagi mempesona. Siapa mampu menatap bara? Sedang aku: arang kenangan. Kau bakar juga tonggak salib, hingga galib. Nyata seperti tubuh mengaduh. Dan ini rindu remuk tak berbentuk. Kudengar: yang teramat kering mengertap di murung langit-langit. Kosong yang begitu gosong. Aku jadi debu atau tinggal bayang-bayang. Kau: Api menggantang pandang. Sebentar datang, sebentar hilang. 2. Kau bakar juga rumah kenangan. Dan dadaku semakin bara; Siapa Tuan bersemayam di mimpi malam? Kuharap: asap, wangi dan sejati. Pengingat peristiwa tak terperi. Aku yang terjerembab dalam senyap meminta raga: merupalah segera! Tapi kau bakar ayat yang lain, tentang semangkuk air dan selusuh kain. O, gerangan gersang yang menyerang, sudilah bersemi tetunas biji. Seperti di pantai Niniwe, tumbuh serumpun labu. Akulah yang berseru : Janganlah

Ketika Aku Pergi

1. Tangisilah datangnya kesendirian, Kau. Ranjang kian lapang, dan ruang makan kehilangan hangat percakapan. Kau pun hilang, sejak langkah itu terbilang di gelisah beranda, di kalut pagar, di cemas jalan berkabut itu. 2. Siapkanlah jalan untuk kedatangan, Aku. Jalan mawar, sejuk angin gunung, dan pantai semesra ruang dansa. Aku membawamu serta, bahkan di cakrawala, saat bulan terasa temaram, malam ini. 3. Berdukalah untuk timbulnya rasa kehilangan tapi, jangan tumpahkan airmata sia-sia. 2010

Kunang kunang

Biarlah kupasangkan nyala kunang-kunang di mata taman, seperti kutenangkan juga jiwa pengelana di bangkunya yang usang. Selimut malam baru didinginkan, Tuan, apa tidak sebaiknya kau simpan sedikit bintang di bawah bantalmu yang berdebu? Tidak perlu. Aku akan memimpikan rumah yang terbakar. Yang abunya berhamburan di udara, dan kerlipnya membuatku girang, seperti kanak-kanak yang berteriak dan melonjak-lonjak melihat kunang-kunang. 2010