Posts

Showing posts from November, 2019

Tentang Sakit

* Bagaimana demammu? Di termometer, yang ia catat: dingin atau panasnya? Bisakah ia berjalan tanpa gemetar? Nama siapa dirintihkannya dalam pelukmu? ** Bagaimana batukmu? Sudah lancarkah ia bersuara parau? Jenakkah ia dalam sesak dadamu? Berapa kali dalam semenit ia berdehem padamu? *** Dalam cair candu maut, ia menggapai guyah tubuhmu. Seseorang datang dan pergi -- menepuk-nepuk lengan seperti malaikat turun di Getsemani. 2019

Suaraku

Suaraku Mekar bunga dalam jambangan di trotoar, segera ditelan deru sepeda motor yang melintas -- Ia tak berseru apa-apa selain menawar sebuah pucat warna; kering kecoklatan rumputan di tepian tol pinggir kota. Tak dihirau ribuan kendaraan yang terburu entah ke mana -- Ia tak berteriak pada sesiapa hanya menunjuk pada waktu di mana kita harus pasrah menerima kenyataan. 2019

Kamis

Kamis Aku piatu mengetuk pintu --  berseru & menunggu seorang memadamkan nyala dari masa lalu. Aku mekar payung hitam itu -- bersedia dari hujan yang tak lagi merahasiakan apa- apa selain sejumlah nama tumbuh tanpa tanda kehidupan. Aku kata dengan seluruh hurufnya kapital -- karena belum ada yang punya hati untuk benar-benar memperhatikan; seberapa lama kesabaran membesar dan rasa takut itu lambat laun susut. 2019

Unholy Trinity

Unholy Trinity Si Maut, yang suaranya menggelegar di balik kabut, naik ke pembuluh mataku. Si Nafsu, dengan pandang rakus dan mulutnya yang selalu berliur itu, menggelar dunia di bawah kakiku. Dan ketika aku menunggu-nunggu kapan Si Dusta muncul, waktu telah mengelabuiku. 2019

Ikan dalam Akuarium

Ikan dalam Akuarium Ia melihat terang yang luas dengan pandang terbatas. Ia berenang hanya mengukur ketakberdayaan -- seperti aku yang merasa hidup hanya sebesar upaya mengira; licin daun ganggang, letup gelembung di menit ke berapa, seungu apa sirip arwana, dan seberapa rakus seekor sapu-sapu melahap lumut di bebatuan? Ia - seperti aku - melihat dari balik kekakuan dinding kaca -- betapa dingin waktu mengalir begitu saja. 2019

Bahu

...we have translated each other into light and into love go streaming. Brian Patten Kelelahan dan pegal adalah bekal paling banal dalam menempuhi cinta; selama hidup adalah kompetisi panjang untuk membuktikan siapa paling setia dan unggul dalam ketulusan. Meski cinta tak perlu bukti apa-apa selain diri yang makin peduli hari lepas hari. Terbuka atau tidak terbuka, aku perlu sejenak bersandar pada bahumu -- Melupakan kekejian dan kebencian yang sempat diudar karena merasa dunia adalah tempat imam dan rahib menafsir ulang cinta dengan kedunguan mereka belaka. Aku tak perlu apa-apa selain keheningan dan lembut empuk bahumu agar lepas segala hibuk, meluput aku dari menyesal dan mengutuk. Bukankah hari diciptakan baru setiap pagi asal kita percaya -- tak ada tambalan kain dari baju baru untuk lubang di kemeja lama. Bahumu yang lembut empuk adalah tempat melabuh sementara isi kepala. Bersandar di bahumu, aku merasa dunia hanya penat sementara. 201

Potret Penyair sebagai Aswatama

Barangkali, ia akan temui makna mati hanya dalam tenda bayi Wisanggeni. Ia menyimpan kuda dan gajah dalam pikirannya seperti ia simpan bara dendam bagi dunia. Kuda yang menuntunnya pada seluas kembara, di mana ia tahu -- tak ada batas jelas cakrawala. Dunia tak memisahkan kebaikan dan kejahatan melainkan mencoba memberinya beragam alasan. Gajah yang menggiringnya pada pemikiran; hidup haruslah penuh penegasan bahwa penugasan manusia berpuncak pada ia tak sekadar nama, tetapi juga namanya harus mencapai makna. Ia memperjalankan kuda dan gajah dalam pikirannya sebagaimana Dorna memberi kuasa dari namanya. Aswatama; ahli senjata dan aneka gladi wyuha yang suaranya meledak-ledak di padang belantara. Namun sejarah - yang lebih banyak memuat cerita kekalahan dan banjir darah - memberinya panggung sederhana --  bahwa manusia harus hidup dari segenap upaya  belaka, tak ada janji dari surga, tak ada restu melebihi  doa orang tua. Karena i

Tak Selamanya Menunggu

Tak selamanya menunggu, jika jeda, dan hanya jeda, maka akan ada air mata itu. Berdiam semata upaya menggenggam yang nyaris lepas, yang hendak jatuh, dan yang bakal batu dendam                                (atau hanya aduh?). Tak selamanya bisu -- bukankah yang pertama dan utama adalah kalam? Selain itu pasti punah. 2019

Pengungsi Kedua

Pengungsi Kedua Dari laut, dari maut, bersampan datang ke relung suci telinga, dengarkan! Dari gurun, dari padang entah berduyun menderap dalam hati, kau tergugah? Sehabis badar, sehabis perang besar terhidang bergenang-genang air mata, aku tersadar; langit tak ditudung bagi hati sempit bumi tak dilempang bagi sembarang niatan dan kita hanya kabut yang pelan menjerit di antara debu, batu, dan mereka menangis semalaman. 2019