Lamaran

Berbekal cincin emas 5 gram milik Ibunda,
kau berangkat melamar Pacar.

Menyitir penyair Chairil, kau berkata padaku,
"Kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang pun merayu."
Padahal, aku hanya meminta kau memarkir becakmu
dengan benar. Tidak melintang di tengah trotoar.

Di depan rumah Pacar, kau berlutut dan berserah,
dan lagi-lagi mencuplik selarik sajak. Kali ini milik
Sapardi, "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.."
Tapi Pacar malah tertawa. "Ada-ada saja," tukasnya.

Di bawah pohon kamboja, Pacar mengajukan satu
permintaan: pernikahannya harus dilaksanakan
di depan makam Ibunda. Kau pun terguguk dalam
bisu. Bagaimana bisa, Ibunda masih sehat sentosa.

Di beranda, jari manis Ibunda menunggu cincin 5 gram
yang dikira hilang. Ketika kau pulang dan bercerita
tentang lamaranmu yang gagal, Ibunda terpingkal-pingkal.

Kau pun terkejut mendengar Ibunda berucap
mirip larik terakhir sajak Joko Pinurbo;
"Dengan kata lain, kau tak akan pernah bisa menikahi Pacarmu."

2010

Comments

andri K wahab said…
suka sekali dengan postingan ini...

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun