Tentang Lirik Lagu Indonesia - Mengapa Menjajah Telinga Rakyat Sendiri?

Dulu, seorang teman berbeda kelas saat SMA datang ke rumah saya. Niatnya cuma satu: meminjam kaset (waktu itu belum ada CD) lagu-lagu yang sering saya nyanyikan ketika latihan band. Dia terbengong-bengong mengetahui bahwa tidak satu pun saya miliki lagu-lagu tersebut. Saya menghafal liriknya via radio dan 'ngulik sendiri chordnya meskipun tidak benar-benar ahli. Yang penting 'pas' dengan suara saya. Waktu itu, yang digandrungi oleh anak-anak seumur saya adalah lagu-lagu dari Guns N Roses, White Snake, Poison, dan lain-lain yang bisa digolongkan Rock Ballads.

Saya tidak bangga dengan kenyataan itu, selain soal chord yang tidak sesuai aslinya, lirik yang saya dendangkan pun sering keliru. Saat itu hal semacam itu tidak menjadi soal -- toh manggung pun hanya di depan teman-teman yang nilai bahasa Inggrisnya pun didapat dari contek kanan-kiri saat ulangan.

Penilaian saya terhadap lagu bukanlah dari musiknya saja. Saya termasuk pecinta musik dari dangdut, jazz, pop, keroncong, bahkan metal. Tetapi yang makin menggelitik akhir-akhir ini bukanlah soal musiknya melainkan soal lirik lagu yang sering berseliweran di telinga. Soal musikalitas, saya tahu bahwa musisi-musisi Indonesia tidak kalah dengan musisi-musisi dari Barat sana. Meskipun soal harmonisasi - terutama dalam musik Rock - saya masih mengakui bahwa supergroup seperti Led Zeppelin ataupun Queen belum pernah bisa disamai oleh musisi kita. Bahkan lagu-lagu Metallica pun bisa disajikan secara klasik! Hal yang belum saya lihat terjadi di Indonesia. Jadi kegelisahan saya sekali lagi bukanlah soal musikalitas, tetapi lebih kepada lirik.

Baiklah saya berikan contoh kasus. Sebuah group yang termasuk baru Owl City membuat lagu yang liriknya cukup surrealis tentang kunang-kunang (http://www.lyricsmode.com/lyrics/o/owl_city/fireflies.html). Sepele? Tidak juga. Fireflies menceritakan kegelisahan pribadi yang terkena insomnia. Jika direnungkan bisa saja hal itu berkenanan dengan rasa cinta. Dan hal semacam itu lebih baik daripada sekedar menulis : "aku mau tidur, ingat kamu ..."

Premis yang sering sekali saya dengar dari para musisi kita adalah soal selera pasar. Tapi apakah mereka tidak pernah melihat bahwa musik "barat" bisa dinikmati di seluruh dunia? Ambil kasus lagi, mungkin Anda pernah mendengar seseorang bergumam:


Now that it's raining more than ever
Know that we'll still have each other
You can stand under my umbrella
You can stand under my umbrella

Ini lagu cinta. Tetapi coba simak "bahasa" yang digunakan oleh penciptanya. Dia bicara soal hujan, ikatan, dan simbol dari kedekatan yaitu sebuah payung. Itulah yang dinamakan kreativitas. Bandingkan dengan lirik terbaru dari Ungu ini:

i will always love you kekasihku
dalam hidupku hanya dirimu satu
i will always need you cintaku
selamanya takkan pernah terganti

ku mau menjadi yang terakhir untukmu
ku mau menjadi mimpi indahmu

cintai aku dengan hatimu
seperti aku mencintaimu
sayangi aku dengan kasihmu
seperti aku menyayangimu

i will be the last for you
and you will be the last for me

(Dirimu satu)


Jikalau boleh saya bilang : Ini bukan soal pasar. Tetapi lebih kepada rasa malas untuk berkreasi lebih baik dari sekedar bahasa fragmatis sehari-hari dalam mencipta lagu. Setuju?

Alih-alih mengamini lagu: Hancur hatiku yang liriknya cuma itu saja, ijinkan saya membandingkan dengan refrain sebuah lagu cinta yang pernah dibawakan Led Zeppelin : All of My Love. Keduanya punya hal yang sama. Punya satu frasa untuk diulang-ulang. Olga menjerit hancur hatiku, Plant berteriak All of My love berulang-ulang. Tapi, perbedaannya sangat besar. Untuk bisa berteriak All of My Love berulang kali, dalam lagu itu ada "sebab"nya. Untuk itulah Plant bersajak dengan beragam perlambang. Mulai dari bulu-bulu angin sampai ke putri Arriana. Sedangkan Olga - lebih tepatnya Melly yang mencipta menulis Hancur hatiku tanpa sebab akibat.

Percaya atau tidak, tapi inilah kenyataan yang terjadi di dalam dunia musik Indonesia kontemporer. Para musisi - khususnya penulis lirik lagu lebih mempertimbangkan hal lain dibandingkan "kecerdasan" telinga Rakyat Indonesia dan hal itu tak lebih dari sekedar "materi" belaka. Ada satu rumusan yang pernah saya dengar tentang mencipta sebuah lagu yaitu "liriknya gampang diingat!" Dalam dunia komunikasi ada dua cara untuk menggaet perhatian : buat sesuatu yang ajaib atau norak sekalian!

Tetapi sekali lagi, fenomena atau rumusan itu juga patut dipertanyakan ulang. Anak saya berumur lima tahun sekarang ini suka sekali dengan lagu dari My Chemical Romance yang berjudul "Sing." Dan hebatnya, dia tidak sekedar bernyanyi: Nananana nanana ...saja (karena dalam lagu itu berulangkali dinyanyikan nanana...nananana...) tetapi dia hafal refrainnya tepat secara spelling :

Sing it for the boys,
Sing it for the girls,
Every time that you lose it sing it for the world.

Sing it from the heart,
Sing it till you're nuts,
Sing it out for the ones that'll hate your guts.

Sing it for the deaf,
Sing it for the blind,
Sing about everyone that you left behind.

Sing it for the world,
Sing it for the world.


Dengan begitu berarti metode lirik berulang, gampang diingat, masih bukanlah rumusan yang baku dalam hal mencipta lirik lagu yang baik.


Jakarta, Januari 2011

Comments

awie said…
Kang Dedy, ada KLA Project yang menurut saya liriknya puitis dan kreatif. Apa kang Dedy setuju?
arif setyawan said…
Ini nih kitik yang kritis dicari selama ini, benar jikalau di indonesia hanya mementingkan pasar. namun bukan kecerdasan si pendengar. kasusnya seperti temen saya, dia di malang hebat dalam bermusik. hingga suatu saat mendapatkan peluang record di studio rekaman, jakarta. saat bermusik, mereka justru dikritisi dan diminta untuk membuat lagi yang lagi pasaran dengan nada dan lirik cinta-cinta yang tidak berkualitas.
salah siapa sekaran?

visit web kami di tutopod.com

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun