Kata-Kata Kota yang Gusar
Dengan kereta malam, aku memutuskan
meninggalkan jejak yang samar pada jam 3 dini
hari yang secantik gadis yang belum tergoda
memasang behel dan membeli blackberry.
Jejak yang hanya bisa dilihat jelas dari jendela
kereta - antara rel dan gubuk-gubuk tanpa
bentuk.
Menanggalkan juga kenangan yang memar
dari sebuah kamar kontrakan berukuran
3 x 10 meter persegi di dalam gang yang
tidak pernah sepi. Suara pedagang tapai dan
sol sepatu, penjaja baterai jam dan remote,
juga bunyi duk..duk..duk..dari pinggang gerobak
sate padang yang digebuk kipas bambu adalah
degup yang begitu hidup di sepanjang jalan,
di sekitarku.
Berjaket jins, aku duduk di gerbong, yang besi-besinya
mengingatkan seseorang yang muntah karena mabuk
di ujung gang persis saat peronda hendak memukulkan
tongkat pada tiang listrik. Dan kurasa, seperti mereka,
aku bergulat dengan gigih: mempertahankan kesadaran,
mengingat waktu tak boleh berlalu tanpa hal-hal yang
dingin dan hampa.
Tapi lewat dari angka satu, jarum jam di arloji
mengingatkan sepotong piza yang tak sempat
disentuh ketika kita berpisah tadi malam, karena
Kota terlebih dulu mengeluarkan kata-kata
yang gusar.
Kata-kata yang kini kuputar ulang,
setelah dari jendela kereta kurekam
sesuatu yang amat mirip wajahmu.
2011
meninggalkan jejak yang samar pada jam 3 dini
hari yang secantik gadis yang belum tergoda
memasang behel dan membeli blackberry.
Jejak yang hanya bisa dilihat jelas dari jendela
kereta - antara rel dan gubuk-gubuk tanpa
bentuk.
Menanggalkan juga kenangan yang memar
dari sebuah kamar kontrakan berukuran
3 x 10 meter persegi di dalam gang yang
tidak pernah sepi. Suara pedagang tapai dan
sol sepatu, penjaja baterai jam dan remote,
juga bunyi duk..duk..duk..dari pinggang gerobak
sate padang yang digebuk kipas bambu adalah
degup yang begitu hidup di sepanjang jalan,
di sekitarku.
Berjaket jins, aku duduk di gerbong, yang besi-besinya
mengingatkan seseorang yang muntah karena mabuk
di ujung gang persis saat peronda hendak memukulkan
tongkat pada tiang listrik. Dan kurasa, seperti mereka,
aku bergulat dengan gigih: mempertahankan kesadaran,
mengingat waktu tak boleh berlalu tanpa hal-hal yang
dingin dan hampa.
Tapi lewat dari angka satu, jarum jam di arloji
mengingatkan sepotong piza yang tak sempat
disentuh ketika kita berpisah tadi malam, karena
Kota terlebih dulu mengeluarkan kata-kata
yang gusar.
Kata-kata yang kini kuputar ulang,
setelah dari jendela kereta kurekam
sesuatu yang amat mirip wajahmu.
2011
Comments
salam kenal :D