Tersesat di Negeri Boneka - 2

: Barbie




i


Tak hendak aku melicinkan kulit pundak. Tak juga ingin mengepaskan sepasang

payudara di bagian muka gaun penuh renda. Aku kayu saja. Lebih padu dengan

legam rambutmu sebagai konde.


Ibu sajak suka menyasak rambutmu itu. Dia tak suka mengajariku memasak.

Sebab rambutmu teduh dan rimbun serupa miang tebu. Dan jemariku terlanjur

lurus terhunus. Ibu sajak kuatir jari-jari ini melukaimu.


Maka tampillah kau serupa puteri. Menjalani simpang ragu. Melenggang di jalur

rindu. Supaya cinta tampil sempurna pada keriap mata dan tubuh kayu ini

semakin lencang, tak kunjung layu.


Berdiri aku di halaman rumah. Mengharap alam selalu ramah,

tak pernah marah. Dan matahari, bapak yang selalu pulang pagi

dan menghilang di pematang petang, guru menggaru dan membajak,

juga mengurus ternak. Itulah sebabnya, kulit pundakku

tampak legam dan berkerak. Persis kayu.


ii


Semakin hari, rambutku merah. Bukan kuning cerah

seperti rambutmu. Tapi Ibu sajak suka sekali pada

sisa angin gunung dan keringat petani di rambutku ini.

Dia biarkan jemariku yang lurus terhunus mengacak-acaknya.

Sebab dari situ menghambur debu kenangan.

Dipungut dan dirangkai kenangan itu jadi renda-renda gaun.


Tapi dadaku tak subur. Dan bagian depan gaun itu tampak selalu kendur

jika aku mencobanya. Ibu sajak menghibur.

Katanya,"Kau adalah kayu, dan bukan boneka."


Dilepaskannya gaun itu dari tubuhku.

Dipaskannya gaun itu padamu.


iii


Dengan gaun berenda kenangan,

kau melenggokkan badan.

Membelokkan keadaan:

Akulah boneka kayu, terpasung di dunia bisu.


2011

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun