Dan Sebuah Huma adalah Kita

Pada padang hijau dan rumput yang sepanjang tahun
dimandikan embun, kau menenangkanku seperti
wajah danau itu.

Duhai, tak ada lagi gelora, gelisah kaki-kaki rusa,
sebab di tepian sungai, kaulah pohon tarbantin terbaik.

Dari lawak-lawak ternak dan pagar yang rusak,
aku serpih bulu domba, sisa dimangsa serigala.

Tapi kau, nyala pelita. Berbuli anggur dan minyak,
sepiring penuh panggang punggung lembu.

Di atas bara, aku dihidupkan. Serupa mur dan ukupan.
O, Api. Di tanganmu ada yang ditarik dan dilepas.

Angin di gisik, angin dikipas. Riuh suara bapak & anak,
para petani berderai menggaru dan lihai membajak.

Di dalam kemah, meja perjamuan meriah.
Tak ada undangan, tanpa tangis sepasang kekasih.

Aku tak melewa, kau bersahaja. Pepokok bunga.
Bungaran di sebuah huma. Duhai, Tak sesiapa.

Hanya gundah lembah dan kidung cemara.
Di gunung. Di himpun bebunga bakung.

2011

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung