Pantai Juntinyuat di Awal Maret

1.
Di pantaimu, yang tak terkabarkan oleh alun
hanyalah tangis kerinduan dari negeri tandus.

Walau tak ada rimbun bakau dan kepak elang,
kanak-kanak itu tak pernah risau, Sayang.

Di halaman madrasah, mereka bergembira
seperti sekelompok domba yang berkeliaran
di antara gazebo rumah makan ikan bakar.


Mereka tak tahu kau menangis, Sayang
karena hujan kerap singgah di sini. Membawa
butiran-butiran pasir lekat pada tikar-tikar pandan.


2.
Di pantaimu, yang tak tergambarkan oleh
layar perahu adalah senyum yang ranum itu.


Senyum semanis buah mangga yang sesekali
dikecewakan cuaca. Hujan yang jarang datang,
dan panas bertukar cemas di dalam kamar

seperti tangis yang disembunyikan ayah
dalam alun tarling dan sebentuk kerling
biduanita berparas bocah, bersuara serak-basah.

Selembar surat dari yayasan tenaga kerja
yang mengirim ibu, datang membawa kabar
kelabu: majikan itu lebih kejam dari sosok ibu tiri.

3.
Pantai Juntinyuat di awal Maret tengah dicekam
mendung, dan aku seperti anak kandung yang
tertundung, menggelandang mencari kandang
di antara kampung: hanya untuk menitipkan resah
yang tak sanggup kutampung.

2011

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung