Potret Peniup Terompet Buta

Malam terbaring saat lampu jalan tegak
memandanginya membuka peti usang itu.

Tubuhnya yang renta seakan ditopang
warna jingga dinding bangunan kolonial,

dan tangannya gemetar saat bintang-bintang
seolah berebutan menghitung: berapa lama

waktu yang diperlukannya untuk menyeka
bercak-bercak kesedihan pada pipa kekuningan itu

dan berapa siap angin berkesiap mengiringi
nada-nada yang dipersembahkannya tanpa kata-kata.

Hanya bulan dan kota berdiam, seakan dia
akan bertahan selamanya. Selama aku memandangnya

dari sebuah lukisan. Dengan sebuah keyakinan:
bahwa sajak tak pernah beranjak dari dalam diri.

2011

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun