Bercakap dengan Awalludin
Sebuah kumpulan sajak lahir lagi. Kali ini ditulis oleh seorang bernama Awalludin. Dia ini saya temui pertama kali pada waktu acara saya dan teman-teman Paguyuban Sastra Rabu Malam diundang oleh teman-teman Sastra Universitas Bung Karno yang mengadakan perhelatan Sastra di Mall. Tepatnya di Depok Town Square.
Tanggal 29 Oktober 2008, pada saat Reboan digelar, Awal memberitahukan kepada beberapa teman termasuk saya bahwa dia sudah mengumpulkan sajak-sajaknya dalam sebuah buku berformat ‘fotokopi” dengan ukuran setengah A4. Buku kumpulan sajak itu dinamai Percakapan Malam.
Ada 35 sajak yang dia kumpulkan dalam buku itu. Semuanya berangka tahun 2008. Artinya semuanya sajak yang baru. Melihat hal itu, saya beranggapan Awal adalah penulis puisi yang rajin atau sedang rajin-rajinnya memanen sajak-sajak yang bertebaran dalam hidupnya.
Tema yang diangkat dari ke-35 sajaknya sangat beragam. Mulai dari perkenalan dengan seorang gadis, nasib TKI di tanah perantauan, religi, sampai tanaman padi, bahkan penyair lain yang menjadi idolanya. Agaknya, menilik dari tema-tema itu, Awal adalah penyair yang sangat menyesuaikan dengan kabar berita yang ia dengar atau lihat. Sebab sajak-sajak dalam buku ini cenderung update dengan peristiwa yang ada.
Pertanyaan pertama pada kumpulan sajak ini adalah mengapa ia diberi judul percakapan malam? Karena di dalam buku ini hanya lima sajak yang mengandung kata “malam.” Dugaan saya, sajak ini kebanyakan ditulis pada malam hari setelah lelah dia bercakap-cakap dengan realita. Tapi dugaan ini hanya dugaan saja, tentu saja. Bagi saya, judul Percakapan Malam tersebut tidak bisa dilacak dari sajak-sajak yang ada di dalamnya. Maka biarkan saja judul buku kumpulan sajak ini menjadi satu teka-teki tersendiri.
Saya lantas mencari sajak “pertama” dalam buku ini. Sajak dengan penanggalan paling muda. Sajak itu berjudul “Aku dan Kereta Adalah Kekasih.” Judul yang cukup provokatif saya kira. Sajak ini juga termasuk salah satu sajak yang menggunakan kata “malam.” Selengkapnya sajak ini sebagai berikut;
Aku dan kereta adalah kekasih…
Malam ini kuhabiskan minum dengannya
Lelah menari di lubuk hati
Sandarkan angan di setiap perjalanan
Aku dan kereta adalah kekasih…
Pertama tak terakhiri
Takkan pernah terganti
Meski mogok lagi dan lagi
Terlambat sudah jadi tradisi
Di negeri ini
StaDeBar, 10 Mei 2008
Sajak ini menggambarkan perjalanan si aku lirik setiap hari menggunakan kereta api, sehingga dia mengibaratkan kereta seperti kekasih yang setia dan takkan pernah terganti. Jadi apapun yang terjadi (mogok lagi dan lagi) si aku lirik hanya bisa pasrah, meski (tetap) menggerutu pada akhirnya.
Sayang sekali memang, tidak ada analogi yang benar-benar pas digambarkan oleh Awal untuk mengatakan seberapa dekat Aku dengan Kereta selain frase “Malam ini kuhabiskan minum dengannya.” Saya berpendapat, seandainya Awal menggunakan daya kepenyairannya dengan mengatakan “Aku dan Kereta saling meminumkan malam” tentu frase itu akan terasa sangat berbeda.
Selanjutnya, saya membaca sajak-sajak Awal dimulai dari bagian depan. Sajak berjudul “Keindahannya” rasanya tidak mengandung “rahasia” ketika Awal menulis “wanita terindah” di akhir sajak itu. Sajak itu menjadi jelas dan gamblang sebagai sajak pemujaan terhadap gadis pujaan.
Pada sajak “Tawa Kereta” saya menemukan satu frasa yang rasanya tidak asing “Ku mencintaimu dengan sepenuh kereta pagi.” Frasa ini mengingatkan saya pada “plesetan” sajak Sapardi dengan penekanan pada kata “penuh” yang digambarkan dengan sesaknya penumpang pada kereta ekonomi ketika pagi hari.
Sajak-sajak selanjutnya, seperti sajak “Musim Sekolah II”, “Anak-Anak Bermain Kereta”, “Kegagalan yang Tak Termaafkan”, “Kepada TKI”, “Begitulah Politik”, “Kita Belum Merdeka”, “Lapangan Kita Telah Menjadi”, dan sebagainya semakin menguatkan penalaran saya bahwa Awal adalah penyair yang sedang menggebu-gebu. Sajak-sajak bernuansa protes dengan kata-kata dan frasa yang terlalu umum adalah sesuatu yang ingin dia berikan lewat buku Kumpulan Sajak ini.
Kemudian, saya mencoba mengambil sisi religi, barangkali ada perbedaan yang Awal buat ketika menuliskan sajak dengan realitas sosial dan sajak dengan latar belakang kesadaran pada kebutuhan rohani. Berikut saya sajikan salah satu sajak dengan nilai religi yang Awal tuliskan;
Tiga Malam Tarawih
Aku lupa seruanMu
Bukannya pura-pura
Arahku tak menentu
Aku juga ingin mendekapMu
Berada dalam cahaya suci itu
Wajah bersinar karena air wudhu
Jika sampai waktu
Aku ingin bercengkrama denganMu
Di sepertiga malam saling berpadu
Sudah tiga malam
Aku keluyuran
Tiga malam tarawih hilang
Tinggallah hutang!
Maafkan aku Tuhan,
Aku kesiangan
Depok, 3 September 2008
Ternyata, sajak dengan nilai religi pun Awal tuliskan dengan kalimat-kalimat yang lugas, terkesan umum, dan sangat kurang daya puitik yang dia kerahkan untuk mencipta sajak. Awal, saya kira masih bermain pada ungkapan-ungkapan yang sangat terkait dengan emosinya. Dan terlebih pada kronologis suatu kejadian. Artinya jika pembaca tidak pernah tahu peristiwa apa yang melatarbelakangi sajak itu, pembaca tidak bisa terempati dengan sajak-sajak Awal.
Sebelum menutup, saya ingin menyajikan satu bait dari sajak Awalludin yang bertajuk “Bukan Maksud Hati.” Saya kira ini visi yang ingin dibangun oleh Awalludin dalam kepenyairannya.
Bukan maksud hati
Memberi puisi tak berisi
Karena aku bukanlah “Sutardji”
Awalludin, dengan puisi ini, mencoba mengkomunikasikan kepada pembaca bahwa puisi-puisi dia “tak berisi.” Entah apa yang dimaksud dia dengan puisi tak berisi itu, tetapi saya kira puisi-puisi yang ada pada kumpulan puisi “Percakapan Malam” itu hampir semua (terutama yang bertema realitas sosial) menginginkan rasa empati atau bahkan simpati pada peristiwa yang melatarbelakangi penulisan puisi itu. Hanya saja memang, rasanya Awal lebih tertarik pada isu-isu tersebut dibandingkan mengembangkan sajak-sajaknya agar terlepas dari frasa-frasa percakapan biasa. Mungkin, inilah saatnya bagi Awalludin untuk mulai merenungkan apa dan bagaimana visinya sebagai penyair di segala waktu dan tidak sekedar bercakap dengan malam.
Dedy Tri Riyadi
Tanggal 29 Oktober 2008, pada saat Reboan digelar, Awal memberitahukan kepada beberapa teman termasuk saya bahwa dia sudah mengumpulkan sajak-sajaknya dalam sebuah buku berformat ‘fotokopi” dengan ukuran setengah A4. Buku kumpulan sajak itu dinamai Percakapan Malam.
Ada 35 sajak yang dia kumpulkan dalam buku itu. Semuanya berangka tahun 2008. Artinya semuanya sajak yang baru. Melihat hal itu, saya beranggapan Awal adalah penulis puisi yang rajin atau sedang rajin-rajinnya memanen sajak-sajak yang bertebaran dalam hidupnya.
Tema yang diangkat dari ke-35 sajaknya sangat beragam. Mulai dari perkenalan dengan seorang gadis, nasib TKI di tanah perantauan, religi, sampai tanaman padi, bahkan penyair lain yang menjadi idolanya. Agaknya, menilik dari tema-tema itu, Awal adalah penyair yang sangat menyesuaikan dengan kabar berita yang ia dengar atau lihat. Sebab sajak-sajak dalam buku ini cenderung update dengan peristiwa yang ada.
Pertanyaan pertama pada kumpulan sajak ini adalah mengapa ia diberi judul percakapan malam? Karena di dalam buku ini hanya lima sajak yang mengandung kata “malam.” Dugaan saya, sajak ini kebanyakan ditulis pada malam hari setelah lelah dia bercakap-cakap dengan realita. Tapi dugaan ini hanya dugaan saja, tentu saja. Bagi saya, judul Percakapan Malam tersebut tidak bisa dilacak dari sajak-sajak yang ada di dalamnya. Maka biarkan saja judul buku kumpulan sajak ini menjadi satu teka-teki tersendiri.
Saya lantas mencari sajak “pertama” dalam buku ini. Sajak dengan penanggalan paling muda. Sajak itu berjudul “Aku dan Kereta Adalah Kekasih.” Judul yang cukup provokatif saya kira. Sajak ini juga termasuk salah satu sajak yang menggunakan kata “malam.” Selengkapnya sajak ini sebagai berikut;
Aku dan kereta adalah kekasih…
Malam ini kuhabiskan minum dengannya
Lelah menari di lubuk hati
Sandarkan angan di setiap perjalanan
Aku dan kereta adalah kekasih…
Pertama tak terakhiri
Takkan pernah terganti
Meski mogok lagi dan lagi
Terlambat sudah jadi tradisi
Di negeri ini
StaDeBar, 10 Mei 2008
Sajak ini menggambarkan perjalanan si aku lirik setiap hari menggunakan kereta api, sehingga dia mengibaratkan kereta seperti kekasih yang setia dan takkan pernah terganti. Jadi apapun yang terjadi (mogok lagi dan lagi) si aku lirik hanya bisa pasrah, meski (tetap) menggerutu pada akhirnya.
Sayang sekali memang, tidak ada analogi yang benar-benar pas digambarkan oleh Awal untuk mengatakan seberapa dekat Aku dengan Kereta selain frase “Malam ini kuhabiskan minum dengannya.” Saya berpendapat, seandainya Awal menggunakan daya kepenyairannya dengan mengatakan “Aku dan Kereta saling meminumkan malam” tentu frase itu akan terasa sangat berbeda.
Selanjutnya, saya membaca sajak-sajak Awal dimulai dari bagian depan. Sajak berjudul “Keindahannya” rasanya tidak mengandung “rahasia” ketika Awal menulis “wanita terindah” di akhir sajak itu. Sajak itu menjadi jelas dan gamblang sebagai sajak pemujaan terhadap gadis pujaan.
Pada sajak “Tawa Kereta” saya menemukan satu frasa yang rasanya tidak asing “Ku mencintaimu dengan sepenuh kereta pagi.” Frasa ini mengingatkan saya pada “plesetan” sajak Sapardi dengan penekanan pada kata “penuh” yang digambarkan dengan sesaknya penumpang pada kereta ekonomi ketika pagi hari.
Sajak-sajak selanjutnya, seperti sajak “Musim Sekolah II”, “Anak-Anak Bermain Kereta”, “Kegagalan yang Tak Termaafkan”, “Kepada TKI”, “Begitulah Politik”, “Kita Belum Merdeka”, “Lapangan Kita Telah Menjadi”, dan sebagainya semakin menguatkan penalaran saya bahwa Awal adalah penyair yang sedang menggebu-gebu. Sajak-sajak bernuansa protes dengan kata-kata dan frasa yang terlalu umum adalah sesuatu yang ingin dia berikan lewat buku Kumpulan Sajak ini.
Kemudian, saya mencoba mengambil sisi religi, barangkali ada perbedaan yang Awal buat ketika menuliskan sajak dengan realitas sosial dan sajak dengan latar belakang kesadaran pada kebutuhan rohani. Berikut saya sajikan salah satu sajak dengan nilai religi yang Awal tuliskan;
Tiga Malam Tarawih
Aku lupa seruanMu
Bukannya pura-pura
Arahku tak menentu
Aku juga ingin mendekapMu
Berada dalam cahaya suci itu
Wajah bersinar karena air wudhu
Jika sampai waktu
Aku ingin bercengkrama denganMu
Di sepertiga malam saling berpadu
Sudah tiga malam
Aku keluyuran
Tiga malam tarawih hilang
Tinggallah hutang!
Maafkan aku Tuhan,
Aku kesiangan
Depok, 3 September 2008
Ternyata, sajak dengan nilai religi pun Awal tuliskan dengan kalimat-kalimat yang lugas, terkesan umum, dan sangat kurang daya puitik yang dia kerahkan untuk mencipta sajak. Awal, saya kira masih bermain pada ungkapan-ungkapan yang sangat terkait dengan emosinya. Dan terlebih pada kronologis suatu kejadian. Artinya jika pembaca tidak pernah tahu peristiwa apa yang melatarbelakangi sajak itu, pembaca tidak bisa terempati dengan sajak-sajak Awal.
Sebelum menutup, saya ingin menyajikan satu bait dari sajak Awalludin yang bertajuk “Bukan Maksud Hati.” Saya kira ini visi yang ingin dibangun oleh Awalludin dalam kepenyairannya.
Bukan maksud hati
Memberi puisi tak berisi
Karena aku bukanlah “Sutardji”
Awalludin, dengan puisi ini, mencoba mengkomunikasikan kepada pembaca bahwa puisi-puisi dia “tak berisi.” Entah apa yang dimaksud dia dengan puisi tak berisi itu, tetapi saya kira puisi-puisi yang ada pada kumpulan puisi “Percakapan Malam” itu hampir semua (terutama yang bertema realitas sosial) menginginkan rasa empati atau bahkan simpati pada peristiwa yang melatarbelakangi penulisan puisi itu. Hanya saja memang, rasanya Awal lebih tertarik pada isu-isu tersebut dibandingkan mengembangkan sajak-sajaknya agar terlepas dari frasa-frasa percakapan biasa. Mungkin, inilah saatnya bagi Awalludin untuk mulai merenungkan apa dan bagaimana visinya sebagai penyair di segala waktu dan tidak sekedar bercakap dengan malam.
Dedy Tri Riyadi
Comments