Suatu Sore di TIM bersama Jokpin & Eka
Pukul 10 di Jumat (10/10/08) pagi, sebuah sms datang dari Joko Pinurbo. Isinya ajakan ngopi di sore hari. Jokpin datang ke Jakarta dalam rangka undangan dari Goethe Institut untuk tampil dalam "Narrating The Body" bersama penyair India " Tishani Doshi" Sabtu 11 Oktober 2008 pukul 16.00 WIB.
Singkat kata, kami pun bertemu jumat sore itu di warung soto Lamongan di TIM. Rupanya Jokpin tidak sendirian. Dia bersama dengan Eka Kurniawan. Mereka baru selesai makan. Obrolan pun dimulai dengan pertanyaan Jokpin tentang launching buku "Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan" kumpulan puisiku, pakcik Achmad, dan Inez Dikara, yang aku jawab bahwa "yang penting sudah ada di toko buku Gramedia." Lalu kita bertiga sore itu mulai menyoroti award seperti KLA, Pena Kencana, dan Freedom Institute/Bakrie Award, bagi para sastrawan. Intinya, award-award untuk sastrawan itu perlu dan dibutuhkan dengan berbagai format dan kriteria yang berbeda-beda. Bisa saja nanti ada award buku pertama, award naskah buku, pun dengan sistem penjurian yang bermacam-macam seperti misal jurinya dari para pembaca buku, dari bermacam profesi, dll.
Di luar itu, Eka bilang kalau dia sedang meneliti perkembangan sastra gothic di Indonesia. Dia mengambil contoh dan sudah mendokumentasi karya-karya Abdullah Harahap justru hidup di luar kebiasaan sebuah buku sastra, yang dibuat launching, didistribusikan di toko-toko buku besar, dan direview di mana-mana. Karya-karya AH justru hidup di kios-kios buku kecil, di emperan-emperan pasar, dll. Jokpin menambahkan bahwa gothic di Indonesia justru punya akar mitologi yang kuat, bahkan di tiap daerah misalnya jenis-jenis hantu atau dedemit punya karakter masing-masing. Belum lagi berbagai macam pantangan dan larangan yang dikaitkan dengan hal-hal yang kadang lebih dipatuhi masyarakat dibandingkan dengan larangan/pantangan dalam agama.
Dalam hal memperluas dan memperdalam gaya saya berpuisi, Jokpin mengatakan bahwa idiom-idiom atau imaji-imaji dalam kitab suci amatlah kaya. Misalnya tentang kesepian, dalam kitab Mazmur disebutkan "dari jurang dalam kupanggil namaMu" Kalau membahas percintaan, kurang bagaimana Kidung Agung menuliskannya? Lanjut dengan perbincangan tentang nobel sastra, yang tahun ini didapat oleh sastrawan dari Perancis Jean Marie Gustave Le Clezio, Jokpin melihat perlunya satu tema global yang harus dikuasai oleh penyair agar bisa berbicara di tingkat internasional. Di sisi lain, kemampuan penyair mengolah bahasa adalah kewajiban yang tak bisa dianggap sepele. Tetapi hal itu seharusnya adalah menjadi dasar kepenyairannya. Dia mengambil contoh betapa Chairil Anwar demikian maju dan berguna bagi bahasa Indonesia dengan frasa-frasa yang menakjubkan seperti menjadikan kata kerja sebagai kata benda dsb.
Obrolan kami pun dibatasi waktu yang sudah menunjukkan pukul 22.00 di mana saya harus pulang dengan jarak yang cukup lumayan, sedangkan Eka dan Jokpin ditunggu oleh Richard Oh yang bersemangat untuk membahas sebuah puisi entah karya siapa yang dikirim via sms kepada Jokpin. Sebelum sampai gerbang TIM, kami melirik Sutardji di depan warung Alex (alm.) yang tengah asyik berdialog dengan beberapa orang.
Singkat kata, kami pun bertemu jumat sore itu di warung soto Lamongan di TIM. Rupanya Jokpin tidak sendirian. Dia bersama dengan Eka Kurniawan. Mereka baru selesai makan. Obrolan pun dimulai dengan pertanyaan Jokpin tentang launching buku "Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan" kumpulan puisiku, pakcik Achmad, dan Inez Dikara, yang aku jawab bahwa "yang penting sudah ada di toko buku Gramedia." Lalu kita bertiga sore itu mulai menyoroti award seperti KLA, Pena Kencana, dan Freedom Institute/Bakrie Award, bagi para sastrawan. Intinya, award-award untuk sastrawan itu perlu dan dibutuhkan dengan berbagai format dan kriteria yang berbeda-beda. Bisa saja nanti ada award buku pertama, award naskah buku, pun dengan sistem penjurian yang bermacam-macam seperti misal jurinya dari para pembaca buku, dari bermacam profesi, dll.
Di luar itu, Eka bilang kalau dia sedang meneliti perkembangan sastra gothic di Indonesia. Dia mengambil contoh dan sudah mendokumentasi karya-karya Abdullah Harahap justru hidup di luar kebiasaan sebuah buku sastra, yang dibuat launching, didistribusikan di toko-toko buku besar, dan direview di mana-mana. Karya-karya AH justru hidup di kios-kios buku kecil, di emperan-emperan pasar, dll. Jokpin menambahkan bahwa gothic di Indonesia justru punya akar mitologi yang kuat, bahkan di tiap daerah misalnya jenis-jenis hantu atau dedemit punya karakter masing-masing. Belum lagi berbagai macam pantangan dan larangan yang dikaitkan dengan hal-hal yang kadang lebih dipatuhi masyarakat dibandingkan dengan larangan/pantangan dalam agama.
Dalam hal memperluas dan memperdalam gaya saya berpuisi, Jokpin mengatakan bahwa idiom-idiom atau imaji-imaji dalam kitab suci amatlah kaya. Misalnya tentang kesepian, dalam kitab Mazmur disebutkan "dari jurang dalam kupanggil namaMu" Kalau membahas percintaan, kurang bagaimana Kidung Agung menuliskannya? Lanjut dengan perbincangan tentang nobel sastra, yang tahun ini didapat oleh sastrawan dari Perancis Jean Marie Gustave Le Clezio, Jokpin melihat perlunya satu tema global yang harus dikuasai oleh penyair agar bisa berbicara di tingkat internasional. Di sisi lain, kemampuan penyair mengolah bahasa adalah kewajiban yang tak bisa dianggap sepele. Tetapi hal itu seharusnya adalah menjadi dasar kepenyairannya. Dia mengambil contoh betapa Chairil Anwar demikian maju dan berguna bagi bahasa Indonesia dengan frasa-frasa yang menakjubkan seperti menjadikan kata kerja sebagai kata benda dsb.
Obrolan kami pun dibatasi waktu yang sudah menunjukkan pukul 22.00 di mana saya harus pulang dengan jarak yang cukup lumayan, sedangkan Eka dan Jokpin ditunggu oleh Richard Oh yang bersemangat untuk membahas sebuah puisi entah karya siapa yang dikirim via sms kepada Jokpin. Sebelum sampai gerbang TIM, kami melirik Sutardji di depan warung Alex (alm.) yang tengah asyik berdialog dengan beberapa orang.
Comments