Menyelami Keterpaksaan

Tak jarang orang-orang Indonesia mencari peruntungan dengan bekerja di negeri orang. Hidup jauh dari sanak saudara, keluarga, bahkan orang-orang yang paling disayang. Pekerjaan yang didapat pun kebanyakan adalah pekerjaan yang emoh ditangani sendiri oleh penduduk di negara tujuan. Dari sinilah keterpaksaan kedua rekan-rekan Buruh Migran Indonesia didapatkan, yaitu melakukan pekerjaan yang dienggani oleh orang lain.

Keterpaksaan-keterpaksaan lain pun segera dihadapi. Terpaksa dimarahi jika dianggap tidak becus bekerja, terpaksa disiksa jika sang majikan ternyata mengidap penyakit marah akut yang tidak pernah disadarinya, bahkan ada yang terpaksa diperkosa jika sang Tuan kebelet namun tidak mau keluar uang sepeser pun. Lalu keterpaksaan lain biasanya segera menyusul. Terus begitu.

Lantas bagaimana bisa orang lain yang tidak pernah merasakan keterpaksaan itu bisa berempati, bersimpati, bahkan berbagi perasaan dengan mereka? Mungkin inilah sebabnya lima orang yang menjadi bagian dari Buruh Migran Indonesia di Hongkong ini menuliskan perasaan mereka lewat Buku Kumpulan Puisi yang diberi judul “Lima Kelopak Mata Bauhinia.”

Mashuri dari Dewan Kesenian Jatim mensinyalir berpuisi bagi mereka adalah semacam terapi jiwa bagi keseharian para penyairnya yang keras. Lebih jauh, dia mengandaikan ada semacam peperangan yang sedang dilakukan untuk mendapatkan sebuah bentuk kebahagiaan. Barangkali ada benarnya hal itu, tetapi patut diingat bahwa perjuangan sesungguhnya bisa lebih indah dari puisi yang mereka hasilkan dan dikumpulkan ini, perjuangan seperti mendapatkan gaji, perlindungan, asuransi, atau jaminan-jaminan lain terutama dari negerinya sendiri itu sangat perlu didukung.

Saut Situmorang ada mencatat bahwa dengan mereka berpuisi, mereka telah memperkaya khasanah Sastra Indonesia, terutama dalam “Sastra Buruh.” Secara khas, dia merasa kita semua perlu memperluas definisi Sastra Buruh yang sudah ada. Dia juga mencatat adanya semacam keterasingan kedua dari puisi-puisi Adepunk, Mega Vristian, Tanti, Tarini, dan Kristina setelah keterasingan dari negeri sendiri, yaitu keterasingan akibat perlakuan majikan.

Menilik puisi Adepunk, ada didapatkan pendambaan terhadap cinta, yang bisa saja diartikan sebagai kasih sayang yang cukup bagi saudara-saudara kita ini. Lihat saja petikan “Kidung Cinta dari Negeri Seberang” berikut;

Aku yang kini jauh dari dirimu
Jauh dari mimpimu,
Jauh dari pelukmu
Adakah kau merindukanku?

Berkali-kali mereka juga merekam kejadian yang menimpa saudara-saudara kita yang bekerja sebagai buruh migran. Seperti yang dilakukan Mega Vristian dalam berbagai puisinya, seperti “Levy”, “Roda Kereta Maut”, Sajak Untuk Suprihatin”, dan “Elegi Rahayu.” Di mana Mega menganggap mereka itu semua sebagai perempuan-perempuan tangguh.

kukenang kau dalam sajakku
sebagai perempuan tangguh
yang tak gampang menyerah

(“Sajak Untuk Suprihatin”, Mega Vristian)

Meski begitu, mereka juga tidak bisa mengingkari kenyataan yang sebenarnya. Mereka masih perlu dukungan dari kita semua. Tanti sadar sekali akan hal itu hingga dia menulis pada “Kala Aku Mengingkari” seperti ini;

Namun akhirnya aku pun terjaga
Sadari bahwa ternyata aku juga hanyalah manusia biasa

Maka kita pun segera mahfum jika kemudian dalam puisi-puisi mereka tersaji kemarahan. Hal yang sangat manusiawi bukan? Seperti Kristina yang mengeluarkan “Makiku” dengan kata-kata yang terkesan cukup menohok perasaan kita yang sering menganggap buruh migran adalah penghasil devisa!

Sementara kau tak pernah berpikir
Makanan dan minumanmu adalah peluhku!

Jadi kumpulan puisi ini terasa lengkap dan cukup membangkitkan emosi kita terhadap penderitaan dan perjuangan mereka. Juga pada kerinduan-kerinduan yang mereka pendam sehari-hari. Seperti Tarini yang sangat lugas mengungkapkan perasaannya, maka saya rasa kumpulan sajak ini secara keseluruhan akan mampu berbicara bagi para pembaca tentang para penyairnya, yang hanya bisa mengeluh kepada malam atas penderitaan mereka, dan bahkan mengucap terimakasih kepada majikan saat masa kontraknya berakhir.

Kata tulus terucap dari bibirku
Di saat kepergianku dari rumah ini

(“Saat-Saat Kepergian”, Tarini Sorrita)

29 September 2008

Dedy Tri Riyadi

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun