Mafela

Dia hendak mendekapmu. Dan kumohon
biarkanlah begitu. Agar tak kudengar suara
batuk karena masuk angin, atau bangkis yang
mengejutkan kesepian ini.

Dia mendekapmu lembut, bukan? Dan akan
kubiarkan demikian. Walau tak bisa lagi
kulihat urat-urat kebiruan di bawah dagumu,
yang seakan menunjuk ke mana arah sisa
cokelat hangat itu seusai pertemuan ini.

Lalu angin seakan maklum pada salam
perpisahan, dikibarkannya helai-helai
benang itu sebentar. Semacam detik-detik
perpanjangan waktu yang dihitung oleh
langkahnya. Oleh cahaya senja. Oleh
air mata.

Lalu aku mulai takut akan kesendirian,
bersama kibar benang mafela di dekat
dadanya, di pangkal lehernya, kusertakan
sesuatu yang gaib. Yang begitu karib.

2010

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung