Saat Menunggu
Kau hitung juga bulir cemasku,
seperti dia yang berzikir pada butir pasir
dalam bejana waktu. Diterjemahkannya
kitab-kitab perasaan dengan bahasa angin
dan hujan, hingga tubuh ini menjelma sungai,
ambangkan bangkai.
Seakan ada yang bertanya
“Siapa hendak segera mati?”
Tapi suara-suara itu terlalu tuli
dengan dirinya sendiri.
Di sini hanya ada meja-meja kosong
dan seseorang, secara perlahan, ditelan
balon percakapan tanpa isi. Bahkan
Yusuf pun menolak hadir di sini, sebab
ini memang bukan dunia mimpi.
Aku meraih bulir cemas dari tanganmu.
Antara hendak meremas dan menghempaskannya
ke sudut ruang atau menyeludupkannya
ke jangkauan saku celana.
Aih, betapa cemas adalah
langkah-langkahku sendiri.
Bersiasat dengan sepatu,
dia menuju pada sebuah pintu.
2009
Comments