Jika Cinta Dikatakan Dengan Benar

Semacam Komentar atas “cinta yang marah” – serangkaian sajak M. Aan Mansyur

Satu Bentuk Penghiburan
Dalam kitab suci, kasih diibaratkan sebagai Tuhan itu sendiri; Sang Sumber Kebenaran sejati. Dengan demikian, jika memang cinta kasih yang diungkapkan, tentunya tidak akan pernah menimbulkan satu pun perselisihan, atau satu bentuk kemarahan. Melainkan hanya kedamaian, atau satu bentuk rasa yang sangat mencerahkan dan dirindukan.

Adalah sebuah ironi bahwasanya M. Aan Mansyur mengumpulkan 21 Sajak Berjudul Panjang untuk kemudian disebut sebagai Cinta yang Marah. Tetapi lantas hal itu menjadi semakin rumit, ketika membaca sajak-sajak di dalamnya yang memunculkan bahasa yang lembut, bahasa sepasang kekasih yang ngelanut, dalam semacam perenungan antara Aku dan Kau yang demikian erat.

Tentunya tidak main-main – bahkan hal ini sangat serius untuk disikapi – bahwa untuk menyatakan kesedihan dengan susunan kata-kata yang demikian indah dan menenangkan. Toh, jika kita – para pembaca, dalam skup kecil, atau masyarakat luas, secara umum – sedang dilanda kegelisahan, kesedihan, keprihatinan lebih memerlukan penghiburan daripada mendengar suara-suara dalam nada tinggi; amarah.

Keprihatinan M. Aan Mansyur sangat nampak dari 21 sajaknya itu. Keprihatinan terhadap apa? Ada banyak hal. Saya hanya akan mengambil beberapa yang dituliskan ‘sedikit’ gamblang oleh M. Aan Mansyur dalam kumpulan sajaknya itu. Seperti dapat kita lihat pada sajak ke 5;

….di depan televisi yang bicara tentang angka harapan hidup yang semakin menurun

Atau di sajak ke 10;

aku berbaring di atas halaman koran yang dipenuhi kabar kenaikan harga, perceraian dan perselingkuhan artis, pembunuhan dan korupsi.


Atau di sajak ke 15;

… agar kau juga bisa mengeluh tentang mall yang semakin banyak dan harga-harga barang yang bengkak, tentang jalan-jalan yang dibangun untuk mesin cuma, tentang tayangan hiburan tivi yang menyengsarakan. …


Atau juga di sajak ke 18;

dari pintu terdengar: langkah orang-orang terpaksa berjalan ke gereja untuk sembunyi, teriakan buruh-buruh yang membawa ribuan poster yang berisi kata-kata orang mati, dan tetangga yang berteriak tinggi ingin melampaui lambungan harga bahan-bahan pokok…

Lalu bentuk penghiburan semacam apa yang coba “ditawarkan” oleh M. Aan Mansyur kepada pembaca? Kepada kita – sesama manusia yang juga punya kegelisahan dan keprihatinan terhadap masalah kita sendiri-sendiri.

Di sepanjang sajak-sajaknya, M. Aan Mansyur menuliskannya dengan kata-kata yang dibangunnya serupa percakapan sepasang kekasih; Aku dan Kau yang tidak dapat dipisahkan. Saling mencintai dengan sangat, dengan sepenuh dan seluruh hidupnya. Bahkan melewati siklus hidup manusia; Kehidupan dan Kematian! Lihatlah tokoh-tokohnya bicara seakan-akan seseorang di antaranya akan dan telah mati.


suatu kala kelak kau tak akan pernah tahu pakaian yang kau kenakan dijemput maut pernah membuat jemari aku tertusuk mata jarum berkali-kali saat menjahitnya
(Sajak ke 1)

Namun, menurut hemat saya, pada bait terakhir dari sajak ke 17 lah yang paling mencerminkan penghiburan pada segala kegundahan kita.

menurut kau, apakah akan lahir sebuah fatwa haram mencintai seseorang jika aku dan kau dikuburkan saling berpelukan dalam sebalut kafan?

Sebagai Ungkapan Harapan

Pada sajak ke 19, M. Aan Mansyur menulis demikian;

jangan! jangan terlalu banyak kau panggil nama aku. orang mati tak membutuhkan nama. nisan itu untuk orang hidup, bukan untuk orang mati. atau untuk orang mati yang masih hidup. aku ingin jadi orang mati yang sangat mati. biarkan aku lepas dari belit belut masalah. begitu harusnya kau mencintai aku!

Saya menemukan satu hal yang sangat menarik. Ungkapan “Nisan itu hanya untuk orang hidup” seakan menyadarkan fenomena kebanggaan semu kita atas kejayaan masa lampau, kepahlawanan pahlawan-pahlawan kita, kebesaran nama-nama tokoh, dan hal-hal lain yang bukan kita sendiri yang melakukannya. Pada saat itu kita menjadi orang mati. “Orang mati yang masih hidup”, kata M. Aan Mansyur.

Dengan mengambil apa yang sebenarnya menjadi tugas kita sebagai “orang hidup” tentunya ini akan membebaskan. Seperti diucap dalam bait sajak itu; “biarkan aku lepas dari belit belut masalah. Dan seperti itulah memang seharusnya kita sebagai orang-orang yang merdeka. Orang yang berkemenangan. Orang yang punya harapan.

Di sajak yang lain, sajak ke 3, M. Aan Mansyur menulis;

… siapa tahu layang-layang menerbangkan aku dan kau kembali ke masa kanak-kanak, saat senja masih bening, saat pohon-pohon masih hijau, saat cinta belum terlalu rumit buat dipahami

Ya. Selalu ada harapan yang harus dibangun untuk kembali menemukan diri kita yang sejati. Harapan untuk mengatasi segala macam permasalahan yang ada.

Sebagai Puisi itu Sendiri
Tentunya, sebagai penyair, M. Aan Mansyur ingin juga menghidupi puisi lewat karyanya kali ini. Salah satu bentuk eksperimen yang sangat nyata adalah menjadikan satu bait awal menjadi judul. Terlepas dari pemikirannya yang dikatakan dalam pengantar yang diletakkan di tengah itu, bentuk ini mungkin bentuk baru dari puisi yang sangat diinginkan terjadi. Sangat diseriusi.

Satu hal lagi adalah penyengajaan dari kata Aku dan Kau yang tidak dilenturkan (dileburkan dileburkan dengan kata kerja di depan atau dibelakangnya). Hal ini membuat kejutan, meski ada kesan kaku sekali.

Contohnya seperti dalam sajak ke 9.

kau memasang sandal kau di kaki aku dan memasang sepatu aku di kaki kau…

Dan di beberapa sajak lainnya.

Jika boleh disimpulkan dari pembahasan di atas ke dalam bentuk eksperimen M. Aan Mansyur dalam sajak-sajaknya kali ini adalah sangat bisa jadi bahwa ada semacam keangkuhan dari cinta yang mestinya tidak boleh dilenturkan, dibelokkan. Dan itu adalah pandangan yang benar. Karena – kembali mengutip kitab suci – Sebagai perwujudan cinta, Tuhan itu Pencemburu! Maka sah-sah saja jika M. Aan Mansyur memilih agar “Kau” dan “Aku” dalam sajak-sajaknya tetap begitu. Jadi, jika cinta diucapkan (baca: dipuisikan) dengan benar, segalanya akan kembali pada satu hal. Puisi itu sendiri.

Dedy Tri Riyadi

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung