Perasaan, Peristiwa, dan Puisi
Dedy Tri Riyadi
PERASAAN, PERISTIWA, DAN PUISI
Semacam Komentar Panjang Setelah Membaca Kumpulan Sajak
Gunawan Maryanto; Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri
Petualangannya.
Pertama kali selesai membaca sajak-sajak Gunawan Maryanto yang akrab
dipanggil Cindhil ini, yang terpikirkan oleh saya adalah betapa pandai
dia menarik ulur perasaannya terhadap setiap peristiwa. Peristiwa atau
kenyataan hidup sehari-hari, dalam ranah semangat puitika, menurut Saku-
taro adalah hal-hal yang harus berada di bawah puisi itu sendiri – dalam
esensi puisi romantis – atau dikritisi oleh puisi itu – dalam esensi pe-
dagogis. Namun yang saya amati dalam puisi-puisi Gunawan Maryanto ini,
ada semacam sifat untuk menerima kenyataan tetapi juga tidak begitu saja
prosesnya sekaligus tidak juga menafikannya.
kita telah melintasinya
mereka telah melintasi kita
tak ada beda : mereka telah tak ada
cinta jadi sia-sia
(Kolam Ikan dan Beranda Kosong)
Tapi benarkah segala yang terjadi itu sia-sia? Bukankah dalam semangat pui-
tika ada juga hal-hal yang bisa dibangun oleh puisi? Seperti esensi metafi-
sis puisi yang mengangankan dunia yang transcendental, esensi estetis puisi
yang meninggikan sebuah keindahan, atau bahkan esensial jiwa dari puisi yang
mementingkan kebangunan jiwa yang tertinggi sebagaimana ditulis oleh Sakutaro
itu. Bisa jadi yang membuat Gunawan Maryanto menuliskan puisinya adalah hanya
cara dia memandang kenyataan itu semua dengan cara dia – cara yang hanya dia
yang bisa menjelaskan.
dan seperti musim-musim sebelumnya
aku melihatnya dari jendela – dengan cara yang sama
(Lelaki yang Melintas di Sela Hujan)
Tentunya sebagai pembaca, saya sangat terganggu dengan statemen seperti itu.
Statemen yang terkesan menyembunyikan cara pandang seorang penyair terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tapi mungkin seorang Gunawan Maryanto lewat
bukunya ini memang seperti seorang teman yang mengajak duduk di beranda rumah
pada suatu saat hanya untuk melihat orang lalu-lalang, mobil yang bergesa,
pohon yang diguncang musim dedaunannya, dan lain-lain.
buat apa menduga jika terbaca
buat apa mencari jika tak ada lagi
(Perempuan Berambut Jerami)
Lalu ada apa di sana? Apa yang sebenarnya ingin ditawarkan oleh Gunawan Maryanto?
Kita sendiri yang harus bisa mengambilnya. Harus bisa menentukan apa keinginan kita.
Mengapa? Karena Gunawan Maryanto memang tidak sedang menginginkan ada semacam usikan
terhadap apa yang disebutnya sebagai peristiwa atau kenyataan.
Kuputuskan menjauh
Kauputuskan menjauh
Supaya tak ada yang celaka
tak ada yang terluka
Dan seluruh peristiwa
baik-baik saja – sepertinya
(Perkara Lama)
Apakah benar begitu? Gunawan Maryanto menghadirkan buku ini bukan untuk menghadirkan
cara pandangnya melainkan menginginkan pembacanya kemudian punya cara pandang sendiri
terhadap peristiwanya sendiri, terhadap kenyataannya sendiri? Tampaknya memang begitu.
ada yang ingin terus berlanjut
seperti luka di kepalamu
yang selalu hadir
dengan garukan tanganmu
seperti jalan setapak
yang membelah kepalamu
dengan putus asa
(Perasaan-Perasaan yang Menyusun Petualangannya Sendiri)
Tapi ternyata itu tidak seluruhnya benar, karena ternyata peristiwa – sebagaimanapun
dia memberi jarak – masih tetap sebagai latar belakang tertulisnya satu puisi bagi pe-
nyairnya. Gunawan Maryanto tidak mencoba berkelit, tidak juga hendak menutupinya.
Lewat puisi-puisinya, dia ingin mengenali setiap peristiwa secara lebih. Bahkan sampai
hal-hal terpahit yang dia rasakan.
Biarkan aku mengabadikan tubuhmu
dengan kedua telapak tanganku
Biarkan aku mengenal kegelapanmu terlebih dahulu
(Gandari Memasuki Kegelapan)
Dan pada akhirnya, lewat perasaan terhadap peristiwa itulah puisi-puisi Gunawan Maryanto
berpetualang.
Jakarta, 03 April 2009
PERASAAN, PERISTIWA, DAN PUISI
Semacam Komentar Panjang Setelah Membaca Kumpulan Sajak
Gunawan Maryanto; Perasaan-Perasaan yang Menyusun Sendiri
Petualangannya.
Pertama kali selesai membaca sajak-sajak Gunawan Maryanto yang akrab
dipanggil Cindhil ini, yang terpikirkan oleh saya adalah betapa pandai
dia menarik ulur perasaannya terhadap setiap peristiwa. Peristiwa atau
kenyataan hidup sehari-hari, dalam ranah semangat puitika, menurut Saku-
taro adalah hal-hal yang harus berada di bawah puisi itu sendiri – dalam
esensi puisi romantis – atau dikritisi oleh puisi itu – dalam esensi pe-
dagogis. Namun yang saya amati dalam puisi-puisi Gunawan Maryanto ini,
ada semacam sifat untuk menerima kenyataan tetapi juga tidak begitu saja
prosesnya sekaligus tidak juga menafikannya.
kita telah melintasinya
mereka telah melintasi kita
tak ada beda : mereka telah tak ada
cinta jadi sia-sia
(Kolam Ikan dan Beranda Kosong)
Tapi benarkah segala yang terjadi itu sia-sia? Bukankah dalam semangat pui-
tika ada juga hal-hal yang bisa dibangun oleh puisi? Seperti esensi metafi-
sis puisi yang mengangankan dunia yang transcendental, esensi estetis puisi
yang meninggikan sebuah keindahan, atau bahkan esensial jiwa dari puisi yang
mementingkan kebangunan jiwa yang tertinggi sebagaimana ditulis oleh Sakutaro
itu. Bisa jadi yang membuat Gunawan Maryanto menuliskan puisinya adalah hanya
cara dia memandang kenyataan itu semua dengan cara dia – cara yang hanya dia
yang bisa menjelaskan.
dan seperti musim-musim sebelumnya
aku melihatnya dari jendela – dengan cara yang sama
(Lelaki yang Melintas di Sela Hujan)
Tentunya sebagai pembaca, saya sangat terganggu dengan statemen seperti itu.
Statemen yang terkesan menyembunyikan cara pandang seorang penyair terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tapi mungkin seorang Gunawan Maryanto lewat
bukunya ini memang seperti seorang teman yang mengajak duduk di beranda rumah
pada suatu saat hanya untuk melihat orang lalu-lalang, mobil yang bergesa,
pohon yang diguncang musim dedaunannya, dan lain-lain.
buat apa menduga jika terbaca
buat apa mencari jika tak ada lagi
(Perempuan Berambut Jerami)
Lalu ada apa di sana? Apa yang sebenarnya ingin ditawarkan oleh Gunawan Maryanto?
Kita sendiri yang harus bisa mengambilnya. Harus bisa menentukan apa keinginan kita.
Mengapa? Karena Gunawan Maryanto memang tidak sedang menginginkan ada semacam usikan
terhadap apa yang disebutnya sebagai peristiwa atau kenyataan.
Kuputuskan menjauh
Kauputuskan menjauh
Supaya tak ada yang celaka
tak ada yang terluka
Dan seluruh peristiwa
baik-baik saja – sepertinya
(Perkara Lama)
Apakah benar begitu? Gunawan Maryanto menghadirkan buku ini bukan untuk menghadirkan
cara pandangnya melainkan menginginkan pembacanya kemudian punya cara pandang sendiri
terhadap peristiwanya sendiri, terhadap kenyataannya sendiri? Tampaknya memang begitu.
ada yang ingin terus berlanjut
seperti luka di kepalamu
yang selalu hadir
dengan garukan tanganmu
seperti jalan setapak
yang membelah kepalamu
dengan putus asa
(Perasaan-Perasaan yang Menyusun Petualangannya Sendiri)
Tapi ternyata itu tidak seluruhnya benar, karena ternyata peristiwa – sebagaimanapun
dia memberi jarak – masih tetap sebagai latar belakang tertulisnya satu puisi bagi pe-
nyairnya. Gunawan Maryanto tidak mencoba berkelit, tidak juga hendak menutupinya.
Lewat puisi-puisinya, dia ingin mengenali setiap peristiwa secara lebih. Bahkan sampai
hal-hal terpahit yang dia rasakan.
Biarkan aku mengabadikan tubuhmu
dengan kedua telapak tanganku
Biarkan aku mengenal kegelapanmu terlebih dahulu
(Gandari Memasuki Kegelapan)
Dan pada akhirnya, lewat perasaan terhadap peristiwa itulah puisi-puisi Gunawan Maryanto
berpetualang.
Jakarta, 03 April 2009
Comments