Sajak-Sajak dari Pasar (2)

Pasar Gondang, Nganjuk

sepi tak meringkik, tak pula mengembik
meski pasar begitu berisik di hari pasarannya

adalah mimpi yang berkelindan di antara
los penjual buah dan makanan

menggelisahkan engkau yang sedari malam
tak kunjung bisa diam
karena di pinggir jalan sebuah panggung hiburan
tengah didirikan

adalah engkau yang seksama
mengamatiku dari puluhan ekor kambing,
tiga dokar, dan sebuah pedati sarat kayu jati

Pasar Kandangan, Kediri

aku tak lagi muda, dari puluhan karung
yang kuangkut dari bak truk
hingga los pasar,
aku beroleh panjang usia

tulang-tulangku seperti
lilin ulangtahun yang membara
setiap kali truk itu berhenti
di depan pasar, ada yang kurasakan
begitu berkobar

aku tak pernah lagi menebak
siapa yang akan datang,
lebih baik aku bertepuk tangan
karena di sini setiap hari adalah hari jadi

Pasar Pon Baru, Trenggalek

sebagai petani, aku mengenali dengan baik
tunasnya benih sabar

karena dari petak sawah yang beralih fungsi
jadi pasar, tumbuh pula belukar gusar

yang setiap hari kucabut,
tapi mereka muncul kembali

seperti sepi, yang mengekal dengan benar
di akar-akar padi

akan diingat sepenuh hikmat
oleh seorang buruh tani

Pasar Songgo Langit, Ponorogo

aku menjemur tubuhku pada tubuhmu
agar kita sama-sama hitam,
sama-sama merasakan
betapa tarian musim panas
lebih menyengat dari goyangan dangdut
tiga gadis muda dengan rambut kecoklatan itu

seperti seorang juru parkir tua yang setia
menjaga sepeda-sepeda di depan pintu pasar

yang pada legam kulitnya,
tetas keringat layaknya tetes embun

tetesan mengingatkanku pada pagi,
pada rimbun daun,
pada sebuah warna
yang tak lagi bisa kubedakan
apakah dia terang atau gelap?

hingga aku menjemur tubuhku pada tubuhmu
agar aku lebih paham
: seperti apa hitam yang benar-benar hitam

Pasar Kota Bojonegoro

lewat sekeranjang bunga, kudamba kembali
semua yang telah pergi;
(anak-anak yang setelah dewasa pindah ke lain kota
-berkeluarga-dan tak lagi kirim berita, suami yang lebih dulu mati,
dan kau yang sejak kita bertemu-selalu berselimut sepi),

semua yang telah mengajarkan padaku
tak ada yang selalu indah,
selalu tabah,
dan begitu terjaga dari permulaan
hingga kesudahannya.

hanya pada tiap kuntum bunga,
kukira segalanya bermula;
sebab sulur rindu dan rampai harapan
sedemikian beraroma

Pasar Kota Tuban


aku menjahitkan mataku pada tubuh isteriku. tubuh yang begitu tabah
menahan setiap perubahan waktu. tubuh yang kini semakin memaksa
mataku agar selalu melekat pada luka-lukanya.

adalah kacamata gemuk dan tebal kadang menghalangi mataku untuk
senantiasa berdampingan dengan tubuh isteriku. dia yang begitu rewel
akan umur mataku, jarak pandang yang makin ’ngelantur, juga katarak
yang tak hendak pergi ini.

meski begitu, setiap ada pelanggan datang ke kiosku membawa sarung
yang robek, celana yang kehilangan resleting, atau kebaya yang ingin
tampil cantik, mataku terpaksa berakrab-akrab dengan kacamata itu.

karena kacamata itu suka menasehati mataku agar lebih sering melekat
pada tubuhku sendiri, tubuh sepi yang memanggil-manggilku lebih
dari suara lembut isteriku itu.

Juli – Agustus 2009

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung