Sepasang Sepatu di Kompas.com


Ditulis oleh Cunong N. Suraja

Dari ketiganya telah tercatat sepatu sebagai tema besar. Tengok saja sajak Maulana Achmad: Kwatrin Sepatu di Luar Mesjid (15) dan sajak Dedy T Riyadi: Pesta Sepatu (88), Sepatu Adam dan Hawa (93), Pertanyaan untuk Iklan Sepatu (98), danSepasang Sepatu yang Tertinggal di Via Dolorosa (99), sedangkan Inez Dikara tidak menyebutkan sepatu dengan lugas tetapi banyak sajaknya berisikan tentang jejak atau perjalanan yang tentunya tidak akan luput dari mengenakan sepasang sepatu selama perjalanannya (apalagi pengembaraannya di negeri Paman Sam yang bermusim empat!)

Di Pasar Malam sebuah ajang pertemuan para penggemar sastra malam reboan saya menerima sebuah buku kumpulan puisi (dari salah satu penyairnya: Maulana Achmad!) dengan kulit buku yang menawan dengan jelas menyarankan isi buku dengan gambar sepasang sepatu sepasang kuas dengan latar belakang pemandangan yang mengesankan dalam warna dominan hitam putih.

Tiga kumpulan sajak mengingatkan pada buku puisi zaman normal (kalau tidak mau menyebut zaman penjajahan) “Tiga Menguak Takdir” yang ditulis sastrawan Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin yang menyarankan usaha membongkar sikap budaya Sutan Takdir Alisyahbana. Menguak di sini dimaksudkan untuk mengkritisi.

Pola judul yang menyaran demikian juga dipakai Nirwan Dewanto pada bukunya “Kepala Lebah Ratu”. Dan kumpulan ketiga penyajak ini dengan judul yang mengelupas seperti foto sepatunya di kulit buku dengan judul “Sepasang Sepatu Sendiri Dalam Hujan” yang merupakan sebagian besar tema ketiga penyair yang dibuka oleh dua penulis puisi TS Pinang dan Hasan Aspahani (penyair yang muncul dengan penuh kekentalan kekerabatan dalam dunia internet. Walau keduanya muncul juga di lembaran sastra koran Kompas Minggu).

Tidak mengejutkan kalau kedua pengantar itu tidak bicara banyak tentang sajak-sajak ketiga penyair yang susah payah mengumpulkan masing-masing 35 puisi. Mereka berdua malah asyik membicarakan tentang orang lain semisal SCB. Mereka berdua menghindar untuk menyatakan kekuatan dan kelemahan sajak yang terkumpul 35 setiap penyair. Membaca 105 sajak tak selesai dalam semalam tapi mungkin juga terselesaikan sepanjang kita naik kereta api listri Jakarta-Bogor di tengah-tengah desakan para penumpang pekerja penglaju menuju atau kembali dari kota Metropolitan Jakarta. (Saya lebih dari tiga hari membaca 105 sajak secara selayang pandang dan loncat sana loncat sini mencoba menghubungan kesamaan tema)

Baca lebih lanjut di www.kompas.com

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun