Obrolan di Kedai Pangkas Rambut

Siang seperti langkah seekor kucing dengan bangkai ikan
di mulutnya. Sedangkan menunggu giliran lebih mirip
seekor burung bangau yang menyesal.

Menyesal? Apakah itu perasaan seseorang yang duduk
dekat jendela? Bisa juga sama seperti seekor anjing
yang habis melahirkan dengan puting-puting susu
yang tampak membesar. Dia kehilangan anak-anaknya?

Setiap kehilangan atau kerinduan bisa dinyanyikan
dengan gembira. Semisal oleh sekumpulan mariachi.
Kau tak akan tahu apa yang disembunyikan
dalam topi sombreronya.

Siapa butuh topi saat kita akan bercukur? Yang tepat,
selama menunggu, kita perlu barista penyeduh kopi.
Tapi, hati-hatilah. Mungkin di cangkir itu akan kautemukan
bulu-bulu kucing. Terakhir kali kulihat, dia berada
di atas papan nama kedai ini.

Tapi yang kubaca itu seperti coretan di dinding.
Aneka kata bahasa asing. Yunani, Jepang, dan Inggris.
Cara membacanya lebih tepat jika digambarkan
dengan dengung lalat di dekat lampu.

Sayap lalat itu obat. Demikian pepatah yang kudengar.
Eh, jangan tertawa! Ini rahasia yang ingin disimak
seorang ibu tua dari balik tingkap. Saranku, samarkan
bicaramu dengan suara kendaraan.

Kini, setiap orang itu selalu ingin dijadikan bahan
perbincangan. Semisal dengan mengebut di jalan.
Dengarlah! Raungan motornya mirip sekali dengan
ratapan. Dan setiap hari, di surat kabar, kematian
seperti deretan angka belaka.

Sesekali, hitunglah berapa helai rambut yang gugur
dari kepalamu. Demikian kata si tukang cukur.
Anggaplah satu helai adalah satu hati yang kau sakiti.
Barangkali saat sehelai rambutmu jatuh, ada yang seperti
bangkai ikan di mulut seekor kucing. Dendam
yang demikian busuk kepadamu.

Ah. Jangan terlalu percaya pada perumpamaan.
Yang jujur di tempat ini hanya sebidang cermin.
Dia tampilkan siang ini dengan beragam peristiwa
tanpa ada yang ditutupi. Kecuali apa yang terjadi
di belakang pintu coklat muda.

2013

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun