Pemeluk Pohon Doa


Jubahmu terlalu hitam
untuk sebuah siang yang terang,
katanya sambil memeluk sebatang pohon
; mungkin kau baru pulang dari sebuah misa.
Laut - sebagaimana hidup - tak pernah bisa tenang,
tak seperti pohon.
Meski tak berdaun, dia bisa lembut setelah
dikupas kulitnya.
Di sini, doa hanya buih, meski suara
(lembut dan lirih) tak bersahutan, seperti gelombang.
Lalu, kau menyela -- bukankah doa bisa tumbuh,
bersayap penuh lalu meninggi ke langit itu?
Doa - jawabnya - semurni teruna.
Dia tak memegang senjata atau pena.
Dia juga bukan kata-kata.
Dia pelukan berahi seperti api.
Dia rindu menjadi.
Lalu, di siang ini, keduanya diam.
Sebab di sini, doa hanya buih, tak bersahutan.
Dan cahaya datang mengepung.
Dan suara panggilan seperti limbung.
Keduanya berpelukan.
Tetap dalam diam.
Jubahnya yang hitam berkibar.
Berkibar seperti sebuah paparan cahaya.
Keras dan kasar seperti kulit pohon.
Pohon cahaya.
2016

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun