Catatan Zabidi Zay Lawanglangit atas Liburan Penyair
Bagaimana Cara Penyair Berlibur?
: Sebuah Catatan Kecil untuk Buku Puisi “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi.
Apakah benar puisi-puisi dalam buku bertajuk “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi ini buah dari perjalanan liburan seorang penyair? Atau mungkin inilah cara liburan ala penyair Dedy Tri Riyadi.
Saya sedang menduga bahwa sebenarnya penyair ini tidak sedang benar-benar berlibur untuk hanya menulis puisi. Dugaan saya selanjutnya adalah bahwa puisi-puisi dalam buku “Liburan Penyair’ ini lahir dari kehendak untuk menulis sajak yang memanggilnya. Memanggilnya pada setiap momen yang dilewatinya di suatu waktu. Entah penyair ini tengah berada di manapun, misalnya saja dalam perjalanannya ke luar kota. Boleh jadi tidak dalam rangka liburan, tapi bisa jadi dalam rangkaian tugas sebuah pekerjaan kantor. Apapun alasan sebuah kepergian, itu hanya jalan untuk sampai ke suatu tempat di mana panggilan menulis menggedor-gedor pintu dada, lalu puisi-puisi itu kemudian terlahir.
Atau bisa jadi bahkan saat penyair ini tidak sedang keman-mana. Mungkin tengah di rumah saja atau di ruang kerja dan hanya tengah berselancar di dunia maya. Bukankah di sana kita tetap bisa melihat dunia?.
Jadi bagi seorang penyair, sepertinya tak ada waktu khusus buat berlibur hanya untuk menulis puisi. Kenapa, karena pengertiannya kalau penyair libur semestinya ia tengah libur menulis puisi bukan?. Tapi yang ingin saya katakan dan perlu digaris bawahi adalah; bagi seorang penyair setiap setiap interaksinya entah itu di dunia nyata maupun maya, semuanya bisa menjadi perangkat bagi dirinya untuk menggali imaji pada setiap momen yang tertangkap inderanya.
Maka misalnya saja saat penyair itu menginap di sebuah hotel di luar kota. Di malam hari kala ia memandang keluar dari jendela yang terbuka. Di sanalah inderanya menyusuri setiap sudut gambar yang tersaji dan dari sini frasa-frasa terlahir.
Memasuki Tubuh Puisi
Setiap penyair dituntut mempunyai kemampuan untuk tidak hanya menuliskan apa yang dilihat dan dirasakannya. Dedy Tri Riyadi mencoba untuk selalu melihat sebuah peristiwa alam semesta, baik itu yang hadir dalam narasi besar atau kecil. Setiap narasi alam itu ditelusurinya, kemudian dicoba diakrabi frasa-frasanya. Dirasakannya denyut kehidupannya lalu dimasukinya. Kemudian seolah dia berdiam di dalamnya dan menuliskan riwayat, perasaan, keinginan dari narasi alam yang disingahinya itu. Kemudian penyair itu melompat ke frasa frasa lain di sekitarnya dan melakukan hal yang sama. Lalu menjalin dialog antar frasa semesta yang terkadang tampak hening itu.
Hal ini bisa kita simak dari puisi ke 50 yang kemudian akhirnya menjadi judul buku puisi ini:
50. Liburan Penyair
Sekali waktu,
aku libur jadi penyair.
Menyaru sebutir apel,
tapi pisau sepi membelahku.
Aku jadi kupu-kupu,
Sepi jadi ulat masa lalu.
Ada baiknya aku jadi biji saja.
Eh, sialan! Ada lalat
menghisap-hisap sisa manisku.
Kukemas diriku jadi kanvas.
Pucat putih itu.
2014
Kemudian juga misalnya dalam puisi ke 38/39/48/
38. Kolam
Tak ada yang abadi di permukaan kolam,
daun yang jatuh atau gesit sirip ikan
selalu membuat gelombang, memecah
kesunyian.
…...
39. Kecup Tak Sudah di Punggungmu
Punggungmu: subuh, malam yang perlahan hilang
warna lamat-lamat antara hitam-biru-kuning-tembaga
aku mencari wajahmu, tak menemu juga.
yang ada pesan-pesan usang.
Bibirku: pembacaan berulang-ulang
kata-kata seperti merambat dari abjad-suku kata
mengecupi punggungmu tanpa jeda
mencari yang tak terbilang.
2013
48. Dari Atas Bukit
Aku ingin ajak kau naik ke bukit. Ke tempat
angin menaikkan lengan awan, yang akan
menuntunmu pada pemandangan langit
saat bulan mulai terbit.
………
Puisi yang Berjarak dengan Realitas
Apakah puisi-puisi dalam buku liburan penyair ini menyajikan frasa-frasa yang berjarak dengan realitas sosial?. Penyair Dedy T Riyadi pernah menuliskannya dalam sebuah komentar di fesbuk saat dia memposting sebuah puisinya. Perihal kegelisahannya menulis puisi yang terkadang berjarak dengan realitas. Pertanyaannya: Apakah benar, puisi-puisi dalam buku ini juga berjarak dengan realitas?. Apakah perlu sebuah puisi harus selalu menggambarkan realitas-realitas sosial?. Realitas sosial yang seperti apa?. Terlepas dari itu, saya justru menjumpai salah satu puisi dalam buku “Liburan Penyair” ini yang jeli memotret sebuah realitas. Yaitu peristiwa tragedi 1998 yang ditulis dalam sebuah novel berjudul Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman oleh Afifah Afra. Dedy Tri Riyadi menuliskan dengan indah dalam sebuah puisinya berjudul Mei Hwa.
49. Mei Hwa
Aku melewatkan banyak musim di tubuhmu, Bunga.
Melewatkan semua yang kelam, yang ditenggelamkan
dan dilupakan orang. Kau seperti lantai jembatan tua
yang hanya berderak pelan, ketika aku berjalan.
Bahkan ketika mataku melihat perahu itu, Bunga.
Aku tak mengenalmu lagi. Selain besi-besi karatan
penghalang pandang. Kau jadi jeruji di mana luka
jadi bayang-bayang, dan orang lebih percaya pada harapan.
Padahal, Bunga, kau begitu setia pada setiap peristiwa
hingga aku selalu berlari dan ingin segera meninggalkan.
Bukan untuk melupakanmu, Bunga. Tapi lebih kepada
menjadikanmu sebagai bagian yang abadi dari bayangan.
2014
…..
note: Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman novel oleh Afifah Afra
“Dia korban perkosaan peristiwa Mei 1998.” “Rumahnya dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stress, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.”
Frasa Pilihan Penyair
Setiap penyair mempunyai hak prerogatif penuh untuk memilih frasa yang diinginkannya. Dan karena puisi-puisi Dedy juga lahir dari frasa-frasa yang ada di alam semesta, maka saya pikir puisi-puisinya juga tetap bergerak dan bicara perihal realitas. Walaupun boleh jadi tidak semua puisi-puisi dalam buku Liburan Penyair ini mengangkat realitas sosial dan tidak semuanya mencapai hasil yang maksimal dalam upayanya untuk terus menghadirkan sajak yang kuat. Tapi setidaknya pilihannya mengangkat realitas walau mungkin dianggap memotret objek atau partikel yang paling kecil dan seolah tidak penting, tapi justru di sanalah kekhasan puisi-puisi Dedy tadi. Penyair ini kadang sanggup menghadirkan objek dan benda-benda kecil semesta tadi menjadi frasa yang tak terduga: kuat, menggelitik dan hidup.
Akhirnya selamat membaca dan mengkoleksi buku puisi “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi yang malam ini, 24 September hadir di Sastra Reboan, wapres bulungan.
Jakarta, 24 September 2014
Zabidi Zay Lawanglangit.
(penulis kitab 99 sajak tirakat)
: Sebuah Catatan Kecil untuk Buku Puisi “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi.
Apakah benar puisi-puisi dalam buku bertajuk “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi ini buah dari perjalanan liburan seorang penyair? Atau mungkin inilah cara liburan ala penyair Dedy Tri Riyadi.
Saya sedang menduga bahwa sebenarnya penyair ini tidak sedang benar-benar berlibur untuk hanya menulis puisi. Dugaan saya selanjutnya adalah bahwa puisi-puisi dalam buku “Liburan Penyair’ ini lahir dari kehendak untuk menulis sajak yang memanggilnya. Memanggilnya pada setiap momen yang dilewatinya di suatu waktu. Entah penyair ini tengah berada di manapun, misalnya saja dalam perjalanannya ke luar kota. Boleh jadi tidak dalam rangka liburan, tapi bisa jadi dalam rangkaian tugas sebuah pekerjaan kantor. Apapun alasan sebuah kepergian, itu hanya jalan untuk sampai ke suatu tempat di mana panggilan menulis menggedor-gedor pintu dada, lalu puisi-puisi itu kemudian terlahir.
Atau bisa jadi bahkan saat penyair ini tidak sedang keman-mana. Mungkin tengah di rumah saja atau di ruang kerja dan hanya tengah berselancar di dunia maya. Bukankah di sana kita tetap bisa melihat dunia?.
Jadi bagi seorang penyair, sepertinya tak ada waktu khusus buat berlibur hanya untuk menulis puisi. Kenapa, karena pengertiannya kalau penyair libur semestinya ia tengah libur menulis puisi bukan?. Tapi yang ingin saya katakan dan perlu digaris bawahi adalah; bagi seorang penyair setiap setiap interaksinya entah itu di dunia nyata maupun maya, semuanya bisa menjadi perangkat bagi dirinya untuk menggali imaji pada setiap momen yang tertangkap inderanya.
Maka misalnya saja saat penyair itu menginap di sebuah hotel di luar kota. Di malam hari kala ia memandang keluar dari jendela yang terbuka. Di sanalah inderanya menyusuri setiap sudut gambar yang tersaji dan dari sini frasa-frasa terlahir.
Memasuki Tubuh Puisi
Setiap penyair dituntut mempunyai kemampuan untuk tidak hanya menuliskan apa yang dilihat dan dirasakannya. Dedy Tri Riyadi mencoba untuk selalu melihat sebuah peristiwa alam semesta, baik itu yang hadir dalam narasi besar atau kecil. Setiap narasi alam itu ditelusurinya, kemudian dicoba diakrabi frasa-frasanya. Dirasakannya denyut kehidupannya lalu dimasukinya. Kemudian seolah dia berdiam di dalamnya dan menuliskan riwayat, perasaan, keinginan dari narasi alam yang disingahinya itu. Kemudian penyair itu melompat ke frasa frasa lain di sekitarnya dan melakukan hal yang sama. Lalu menjalin dialog antar frasa semesta yang terkadang tampak hening itu.
Hal ini bisa kita simak dari puisi ke 50 yang kemudian akhirnya menjadi judul buku puisi ini:
50. Liburan Penyair
Sekali waktu,
aku libur jadi penyair.
Menyaru sebutir apel,
tapi pisau sepi membelahku.
Aku jadi kupu-kupu,
Sepi jadi ulat masa lalu.
Ada baiknya aku jadi biji saja.
Eh, sialan! Ada lalat
menghisap-hisap sisa manisku.
Kukemas diriku jadi kanvas.
Pucat putih itu.
2014
Kemudian juga misalnya dalam puisi ke 38/39/48/
38. Kolam
Tak ada yang abadi di permukaan kolam,
daun yang jatuh atau gesit sirip ikan
selalu membuat gelombang, memecah
kesunyian.
…...
39. Kecup Tak Sudah di Punggungmu
Punggungmu: subuh, malam yang perlahan hilang
warna lamat-lamat antara hitam-biru-kuning-tembaga
aku mencari wajahmu, tak menemu juga.
yang ada pesan-pesan usang.
Bibirku: pembacaan berulang-ulang
kata-kata seperti merambat dari abjad-suku kata
mengecupi punggungmu tanpa jeda
mencari yang tak terbilang.
2013
48. Dari Atas Bukit
Aku ingin ajak kau naik ke bukit. Ke tempat
angin menaikkan lengan awan, yang akan
menuntunmu pada pemandangan langit
saat bulan mulai terbit.
………
Puisi yang Berjarak dengan Realitas
Apakah puisi-puisi dalam buku liburan penyair ini menyajikan frasa-frasa yang berjarak dengan realitas sosial?. Penyair Dedy T Riyadi pernah menuliskannya dalam sebuah komentar di fesbuk saat dia memposting sebuah puisinya. Perihal kegelisahannya menulis puisi yang terkadang berjarak dengan realitas. Pertanyaannya: Apakah benar, puisi-puisi dalam buku ini juga berjarak dengan realitas?. Apakah perlu sebuah puisi harus selalu menggambarkan realitas-realitas sosial?. Realitas sosial yang seperti apa?. Terlepas dari itu, saya justru menjumpai salah satu puisi dalam buku “Liburan Penyair” ini yang jeli memotret sebuah realitas. Yaitu peristiwa tragedi 1998 yang ditulis dalam sebuah novel berjudul Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman oleh Afifah Afra. Dedy Tri Riyadi menuliskan dengan indah dalam sebuah puisinya berjudul Mei Hwa.
49. Mei Hwa
Aku melewatkan banyak musim di tubuhmu, Bunga.
Melewatkan semua yang kelam, yang ditenggelamkan
dan dilupakan orang. Kau seperti lantai jembatan tua
yang hanya berderak pelan, ketika aku berjalan.
Bahkan ketika mataku melihat perahu itu, Bunga.
Aku tak mengenalmu lagi. Selain besi-besi karatan
penghalang pandang. Kau jadi jeruji di mana luka
jadi bayang-bayang, dan orang lebih percaya pada harapan.
Padahal, Bunga, kau begitu setia pada setiap peristiwa
hingga aku selalu berlari dan ingin segera meninggalkan.
Bukan untuk melupakanmu, Bunga. Tapi lebih kepada
menjadikanmu sebagai bagian yang abadi dari bayangan.
2014
…..
note: Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman novel oleh Afifah Afra
“Dia korban perkosaan peristiwa Mei 1998.” “Rumahnya dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stress, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.”
Frasa Pilihan Penyair
Setiap penyair mempunyai hak prerogatif penuh untuk memilih frasa yang diinginkannya. Dan karena puisi-puisi Dedy juga lahir dari frasa-frasa yang ada di alam semesta, maka saya pikir puisi-puisinya juga tetap bergerak dan bicara perihal realitas. Walaupun boleh jadi tidak semua puisi-puisi dalam buku Liburan Penyair ini mengangkat realitas sosial dan tidak semuanya mencapai hasil yang maksimal dalam upayanya untuk terus menghadirkan sajak yang kuat. Tapi setidaknya pilihannya mengangkat realitas walau mungkin dianggap memotret objek atau partikel yang paling kecil dan seolah tidak penting, tapi justru di sanalah kekhasan puisi-puisi Dedy tadi. Penyair ini kadang sanggup menghadirkan objek dan benda-benda kecil semesta tadi menjadi frasa yang tak terduga: kuat, menggelitik dan hidup.
Akhirnya selamat membaca dan mengkoleksi buku puisi “Liburan Penyair” karya Dedy Tri Riyadi yang malam ini, 24 September hadir di Sastra Reboan, wapres bulungan.
Jakarta, 24 September 2014
Zabidi Zay Lawanglangit.
(penulis kitab 99 sajak tirakat)
Comments