Puisi-Puisi César Vallejo (1892 – 1938)


César Vallejo

Batu Hitam pada Batu Putih



Aku akan mati di Paris bersama hujan,
suatu hari yang telah aku ingat.
Aku akan mati di Paris - dan aku tak berkarat
Mungkin suatu Kamis, seperti hari ini, di musim gugur.

Pastinya Kamis, karena hari ini, Kamis, yang jemu
mengatakan larik-larik ini, tulang lengan atas yang kuletakkan
pada keburukan dan, tak seperti hari ini, aku telah bisa,
dengan bermacam caraku sendiri, melihatku kesepian.

César Vallejo telah mati, mereka memukulinya
tanpa satu pun alasan kenapa mereka lakukan;
bertubi-tubi mereka memukulinya dengan kayu

berulangkali pula dengan tambang; mereka saksi
pada hari Kamis dan sepotong tulang lengan atas,
kesepian, hujan, dan jalanan...


César Vallejo

Paris, Oktober 1936

Dari semua ini, hanya aku yang pergi
Dari bangku ini aku pergi, dari celanaku,
Dari gempita situasi yang kupunya, dari perbuatanku
dari nomorku yang menyisih dari satu ke lain sisi,
Dari semua ini hanya aku yang pergi.

Dari Champs Elysées atau pada lorong
asing di mana bulan berkelok,
Kematianku hilang, buaianku hilang,
dan, dikelilingi orang-orang, merasa sendiri, tanpa kendali,
kehadiranku sebagai manusia berbalik
dan melepas bayangannya satu per satu.

Dan aku menjauh dari segalanya, sejak semuanya
teruse menerus menciptakan alibi untukku:
sepatuku, lekuknya, serta lumpurnya
dan bahkan lekuk pada siku
dari kemeja berkancingku ini.

César Vallejo

Di Bawah Pepohonan Poplar

Seperti para penyair yang terpenjara bagai pendeta,
pepohonan poplar yang merah darah telah tertidur.
Di perbukitan, yang bergerombol di Bethlehem
mengunyah nyanyian rumput saat matahari terbenam.

Gembala tua, yang menggigil
pada kematian cahaya terakhir,
sedang mata paskahnya telah menangkap
gemintang yang baru lahir.

Dibentuk dalam keyatiman, ia terpukul
oleh kabar penguburan pada ladang doa,
dan gema genta domba dibumbui bayangan.

Terselamatkanlah, lengkung biru
di besi, dan di atasnya, yang menyelubungi hal kecil-kecil,
Seekor anjing menulis lolong penggembalaan.

César Vallejo

Waktu, Waktu

Siang terhenti di antara jeda
Kebosanan mengatur pembayaran meledak dari tempat terpencil
waktu waktu waktu waktu.

Zaman zaman

Ayam jantan berkokok, mengaisi sia-sia
Mulut hari jernih bersambung
zaman zaman zaman zaman

Esok esok

Sisa kehidupan masih hangat.
Pikirkanlah yang sekarang. Selamatkan aku dari
esok esok esok esok

Nama Nama

Bagaimana caranya menyebut cukupkah yang disandang itu?
Ia dipanggil sebagai Lomismo yang menderita
nama nama nama nama

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung