Puisi-Puisi Berlatar Imlek



Dedy Tri Riyadi
Ya Sui

1/
Tak ada duka setelah kauterima
segala yang merah dengan tabah.
Ada mungkin sejumlah kecewa,
tapi itu  karena tak bisa membaca
pepatah.

2/
Ia, yang padamu diserahkan, semacam
petuah – dahan hijau baik disimpan,
burung berkicau terpancing datang.

Kau, yang menerimanya, tentu paham
juga – selagi sanak berkumpul, tidaklah
patut menelisik isi sampul.

3/
Ia tak pernah menyesal sebab tahun
baru awal. Hanya sedikit kesal pada
yang menyoal – rencana menikah
sudah pasti gagal?

Ia malah merasa bahagia ketika langit
jadi jingga. Ketika popo, nene, kungkung,
yeye, duduk bersama di satu meja.

2017

Ya Sui          =       lengkapnya Ya Sui Qian, Angpao
Popo            =       nenek dari pihak ibu, istilah Tionghoa
Nene           =       nenek dari pihak bapak,
Kungkung =       kakek dari pihak ibu,
Yeye            =       kakek dari pihak bapak,




Dedy Tri Riyadi
Lay See

1/
Sebagai tanda cinta, sebelum ia pergi,
singa besar itu akan menari.

Kau bisa menyebutnya barongsai atau Sam Sie,
tipuan tentara Zhong Que untuk mengalahkan
Raja Lin Yi.

Tapi – beri ia rejeki.

2/
Ia pelahap maut.
Dengan mulutnya yang lebar,
dimakannya juga yang serupa mawar.

Tambur dan gong bersahut,
menyambut kaki-kakinya yang kekar
dan lincah memburu nasib yang samar.

3/

Sebagai rasa sayang, sebelum ia pergi,
kauberi sesampul uang dan sekumpul sawi.

Ia akan menyambutnya dengan separuh
dari seluruh gerakan tari, baik di utara atau
di selatan negeri.

Tunggu – kedipkan sebentar masa lalu.

2017

Lay See =     Hadiah dari tuan rumah untuk barongsai,
istilah Tionghoa.


Dedy Tri Riyadi
Yusheng

Mereka satukan lagi; yang dari laut
dan yang dari hutan.

Supaya tak kausebut – ada saatnya
dipisah antara daging dan iman.

Dan kau akan tahu – keyakinan itu
bukanlah semata upaya meramalkan
masa depan.

Seperti kau mengerti; setahun sekali,
diwujudkan harapan dalam rupa makanan.

Karenanya, bersiaplah dengan sumpit.
Bisa jadi, ada yang mesti kautelan
                                               walau sedikit.

2017

Yusheng   =         ikan mentah, perlambang kemakmuran,
istilah Tionghoa


Dedy Tri Riyadi
Seputar Upacara Membersihkan
Rupang Para Dewa

“Kau sudah berapa hari puasa?”
“Sebelum ke sini, mandi dan keramas?”
“Semua baskom harus baru!”
“Air bunga sudah ada?”
“Ini arak putihnya!”
“Itu yang pakai topi, lepas dulu topinya!”
“Nanti, thiam hio dulu, sebelum bantu-bantu menurunkan rupang-rupang itu.”
“Siapa tadi yang bawa kain merah?”
“Tolong yang badannya besar-besar, siap-siap bantu turunkan rupang!”
“Yang kecil-kecil nanti mencuci saja ya?”
“Sudah lengkap belum minyaknya? Melati ada? Cendana?”
“Tadi, yang bawa baskom baru, mana ya?”
“Ayo. Ayo. Cepat. Jangan berisik.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”
“Namo Oh Mee Toh Fo.”

2017

Thiam Hio = berdoa dengan menyalakan hio (batang dupa)


Dedy Tri Riyadi
Amsal Naga Pulau Kemaro

Ia pilihkan amsal untuk misainya
yang berpilin – anak manusia akan
menua, seperti mutiara menjadi kuning.
Dan tak ada obat untuk keduanya.

Pada mulutnya yang terbuka,
pada gugus taringnya, ia jumput
yang lebih bagus pepatahnya – ada
tiga hal yang harus diputuskan, sebelum
kau masuk ke dalam permainan; aturan,
taruhan, dan kapan harus berhenti.

Untuk hijau sisiknya, ia ingin buat
kau terpukau dengan petuah ini – tinta
pucat lebih baik dari ingatan terbaik.

Sedang bagi ke empat cakarnya, ia
hanya sempat memikirkan yang ini – ada
dua kubur yang harus digali, jika kau
mengutamakan dendam dalam diri.

Selebihnya, pada tangga pagoda, ia
sengaja menguji diri dengan memisalkan;
anak tangga di atas adalah harapan
yang hampir lepas – jangan cemas!
Sedang anak tangga di bawah adalah
hal-hal yang telah dilalui – jangan pernah
menyesali.

2017

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung