Memanggungkan Keterbatasan, Memunggungi Kelemahan

Layaknya menonton film, saya pasti mencari nilai-nilai kehidupan yang unik dan universal bagi saya pribadi, juga mencari hal-hal yang menjadi titik pembeda dari sekian banyak film yang sedang diputar pada saat yang bersamaan. Beberapa waktu lalu, saya membawa keluarga dengan maksud menonton film animasi yang menjadi box office, namun lantaran tiketnya ternyata laris manis, akhirnya saya harus memutuskan antara film animasi lainnya atau film adaptasi novel karya anak negeri yang juga banyak direferensikan untuk ditonton. Alih-alih menonton film yang terakhir, dengan pertimbangan "selera anak" akhirnya saya memutuskan untuk membeli tiket film semi-animasi yang mengisahkan tiga ekor tupai!
Mungkin, orang lain akan mencibir pilihan saya. Permasalahannya adalah saya tidak menonton seorang diri. Anak saya yang masih balita tentu tidak bisa mencerna film nasional adaptasi novel itu dengan pikiran kanak-kanaknya. "Bahasa"nya pasti berbeda. Dan bagi saya, akan lebih mudah menerjemahkan kelakuan Alvin dan teman-temannya untuk mengajarkan beberapa nilai kehidupan kepada anak saya. Tentang bagaimana Theodore yang selalu bimbang dalam bersikap karena ketakutannya untuk melukai perasaan orang lain, atau tentang Alvin yang sok jagoan dan menganggap enteng permasalahan karena dia adalah superstar dari kelompok tiga bersaudara itu.
Persoalan memilih alat dan bahan adalah persoalan yang sederhana tetapi inilah ketrampilan sesungguhnya bagi sesiapapun dia. Seorang pembicara atau motivator, seorang penampil, penyair atau seniman secara umum. Di dunia seni / kesenian, yang sekarang berkembang maju di negeri ini - karena didukung oleh teknologi dan media - alat dan bahan yang hendak disajikan untuk menyampaikan pesan sangat beragam. Tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya keterbatasan bagi seseorang yang berkecimpung.
Adalah ketekunan dan keseriusan yang patut dihargai ketika dia yang tampil dengan keterbatasan itu. Sebagai contoh, meskipun bermodal wayang suket, Slamet Gundono betul-betul serius menunjukkan seni itu. Atau seperti seorang pendongeng Aceh yang menggunakan gayung sebagai model helikopter pun demikian serius. Pada tahap serius itulah, segala keterbatasan akan dianggap hilang oleh para penontonnya. Meskipun kita tahu, manusia adalah mahluk yang sangat gemar dengan kemewahan. Hal-hal yang spektakuler dan bombastis. Untuk itu kadang seseorang akan mencoba membawa harapannya pada level-level yang tinggi.
Apakah itu mungkin? Mungkin saja. Dan tidak ada salahnya, selama hal tersebut selalu dibarengi dengan keseriusan dan ketekunan tadi. Saya melihat - meskipun belum sempat bertandang untuk menyaksikan - tumbuhnya komunitas-komunitas berkesenian di Jakarta dan sekitarnya yang pesat. Bahkan belakangan ini semakin pesat. Terutama dengan memanfaatkan pertumbuhan situs jejaring sosial yang semakin mewabah. Satu orang bahkan bisa terlibat dalam lebih dari dua komunitas. Buat saya hal itu wajar-wajar saja. Orang ingin bersosialisasi, ingin membangun jaringan, mengembangkan diri dan menutupi keterbatasan diri, terlebih memperbaiki hal-hal itu. Yang paling utama, meningkatkan kualitas karya. Buat saya, jika tergabung dalam sebuah komunitas tetapi tidak bisa mengembangkan kualitas diri lebih baik bertekun dan berserius dalam berkarya, karena pembaca karya-karya kita tidak akan menunjuk berapa banyak teman kita, betapa erat jalinan dan jaringan yang berhasil kita buat.
Saya kembali teringat sebuah film animasi buatan Disney dan Pixar yang berjudul Wall-E. Sebuah gambaran anomali tentang kehidupan yang sekarang ini. Di mana hanya ada satu harapan berupa tunas di dalam sepatu boot, yang akan membawa kembali kehidupan manusia ke muka bumi yang sudah hancur beberapa tahun silam. Di film itu yang ada hanya sebuah robot pengemas sampah, tapi dia berhasil memasukkan ide-ide yang dahsyat tentang pemanasan global, bencana perang nuklir, kehidupan di ruang angkasa, dan tentu saja harapan akan bumi yang makin hijau dari sekarang ini.
Inilah yang sekarang saya coba bangun sekarang ini. Sadar dengan segala keterbatasan saya sebagai manusia, sebagai seniman. Di dalam berkarya, myang akan saya lakukan adalah berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan keseriusan dan ketekunan. Sambil berharap mudah-mudahan para pembaca bisa memahami pesan-pesan apa yang terkandung dalam karya-karya saya.
Jakarta, Maret 2010

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun