Bekisar

Sepantasnya, kita lupakan saja waktu,

dan mulai percaya: batu mata ini bukan
batu biasa - karena ketika waktu menua
dan buta - batu ini semakin berat menjerat

di dasar rasa curiga pada tunas cahaya.

Seperti cahaya perak yang perlahan
tumbuh dari timur jauh saat sudah tegak
bulu-bulu jingga dan biru di lurus lehermu;

Kau tahu? Sulurnya lebih tajam dari suaramu.

Tepat mulutmu menyebut nama Sang Pagi,
sulur-sulur itu sudah menanti. Menyelipkan
barang sebentar sehelai rambut akar di lidahmu.

Supaya semakin parau suaramu (semakin risau aku!)

Aku harus bergegas. Melempar-pantulkan
batu mata ini ke dinding masa yang begitu pejal,
supaya terdengar suara yang kikuk itu.

Suara yang sama sekali bukan suaramu, bukan?

Dan kita bersama-sama menghitung : berapa tik,
berapa tok, berapa tik-tok lagi yang makin samar,
menjadi kokok yang berkobar.

Lalu waktu hanyalah jeda: saat mata kita bertemu.

2010

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun