Silet

1.
Sekali-kali kuminta: lupakanlah luka!

2.
Mulutnya lebih tahu Tuhan daripada
mulut para pendosa. Bahkan sebelum
kau mengaduh, di mulutnya ada tawa
yang membuka pintu-pintu rindu.

Ketahuilah, dia lebih tebal dari bantal.
Agar di tubuhnya, segala yang banal -
sebelum jadi sesal - ditimbunkan dan
ditidurkan di tiap jengkal pangkal lehermu.

Tapi jangan sekali-kali tertidur!
Selembut bisik jembalang, berkali-kali
dia akan datang: mengusik ruang-ruang
mimpi dengan getar sayap kunang-kunang.

Mungkin, kau akan merasa sedikit pusing.
Seperti setiap kali aku melihat darah,
ada rasa mual dan ingin muntah.
Tapi yakinlah: pertama kali kau dipeluknya,
itu kali terakhir kau merasa mabuk.

Lalu setiap detik adalah kenangan:
kumpulan imaji tentang beragam perasaan
di saat kau mengada - di saat kau merasa
tak ada waktu yang lebih baik dari saat itu.

Dan jemarinya akan mengekalkannya,
mendekapkan mereka di nadi-nadi
yang terbuka, bahkan di setiap sel plasma
yang mengalir ke ruang menganga.

Berdoalah dalam mulutnya, seperti bernafas
dengan masker gas asam yang turun tiba-tiba.

Berdoalah dengan suara tertata perlahan
- bukan terbata, Sayang; mengenangkan
segala yang buruk yang tak bisa kautahan lagi.

Sebab ketika mulutmu dalam
mulutnya, ada ratusan katup terbuka,
ada ratusan letup bahagia:

Kau binasa!
Kau bahagia!
Kau baka!
Kau terlukar, terlahir dari luka!

3.
Sekali-kalinya aku luka: kau mengada.

2010

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun