Bersuka

Kau, rimbun pohon, teduh pagi,
dan sebatang sungai yang mengalun
namun tak gaduh; Aku, pengelana
dari negeri jauh, melepas sebentuk
keluh ke dalam suara-suara rindu
yang penuh.

Bersama, kita bayangkan sebutir
biji rumput dilempar-limbungkan
angin, di sepanjang perjalanan,
jauh dari indah panorama di masa
pancaroba seperti sekarang ini.

Sebutir biji rumput yang malang,
seperti bunyi ayat-ayat yang hilang,
dari doa-doaku kepadaMu.

Kau, pohon buah yang ranum,
gilang sinar matahari, suara rincik
sungai itu; Aku, pendosa yang ingin
berpulang, yang senantiasa dicekam
ingin yang begitu terbilang, di sepanjang
badan, di sepanjang kenang.

Kita, sama-sama terjebak dalam
lanskap kitab suci, dalam nyanyian
imamat rajani, seperti suara angin
yang gemuruh di dalam diri.

Gemuruh yang tak pernah bisa
pergi. Tak juga bisa mati. Seakan
ini kisah yang pernah kaudengar
berulangkali.

Dan Kau, rumah yang teguh
di atas bukit, bayang-bayang
pohon tarbantin, dan kepak
burung-burung pipit; Aku, seorang
anak yang terlanjur suka pada
dongeng-dongeng cinta.

Lagi kubayangkan; ada yang berlarian
di sepanjang padang, di antara
rerumputan, dan kelebat sepasang
rusa, dan ada suara tawa yang lebih
tegas dari kidung para biarawati.

Dan tentu saja,
ada yang begitu bersuka.

2010

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun