Sajak-Sajak yang Terinspirasi Lirik Lagu Dangdut
Bibirku Cawan Anggurmu
: Anggur Merah
Bibirku adalah kehausan yang sungguh,
adalah kegembiraan yang menghendak
kau sepenuh
seakan kau dipetik dari ladang terbaik
di tepian sungai yang subur, lalu diperam
hingga benar-benar berumur
Ronamu merah memikat.
Siapa yang tahan pada kilau
berkilat-kilat itu?
Yang teramat cerlang di bibir gelas,
terang dan hangat tergambar
begitu jelas
Akulah kesetiaan. Menunggu
segalanya tertuang, terbuang,
dan terulang
Hingga habis sesap manis,
sampai nanti ada yang akan
mengingat sisa-sisa hangat malam
lalu tersadar betapa sia-sia
kegembiraan,
dan betapa sesal segala
kemabukan
Meski - saat itu - Anggurku,
telah lepas dari cawan bibirku,
gawal dari takdirku.
2009-2010
Sebelum Masuk
Setelah Mabuk
: Gubuk Derita
Mengapa bilah-bilah bambu seakan
saling berpilin, bersiasat melawan angin?
Hingga suara-suara dari luar - gangguan
bagi mimpi-mimpimu - terjebak dingin.
Sementara berkas cahaya dari lampu begitu bebas
menerobos celah dinding, jendela dan pintu
Mengapa kita masih berharap jarak yang tegas
antara impian, kenyataan dan sejumlah ragu?
Aku - si pemabuk - yang hendak masuk,
teramat gusar meraba – mana dinding, mana pintu?
Sebab kau seperti dongeng yang kikuk,
dibuka dengan kalimat – “Di dalam gubuk bambu...
Lalu tikus, kucing, dan segala binatang penyusup dapur
cukup sudah mencuri seluruh sisa kegembiraan,
Dan segalanya. Ya! Segalanya seakan mencampur
sejumlah minuman, sebelum kamu mabuk dan dilenakan.
Tinggal tiang-tiang didentangkan jadi puisi
seperti ada yang berbicara tentang waktu,
tentang hal-hal yang terasa tak pernah berisi,
seperti selarik lirik; “di sini kudendangkan nasib diriku...
Menyeduh Sedih
Meniup-niup Perih
: Kopi Dangdut
Mengapa lagumu membilang bintang?
Di dalam cangkir, pekat malam dan kelat kopi
bersilang sepakat - berapa derajatkah titik didih sedih?
Dia yang hadir serupa asap tipis, meniupkan
sejumlah perih senyaring irama seruling,
segelisah rentak gendang yang gagap
menghitung degup di dadanya sendiri
Sampai kau seperti benar-benar mendengar
suara parau seseorang di masa lampau,
yang terbata-bata bercerita tentang luka
Tapi kau tak ada lagi di sana,
sebab kopi yang baru diseduh itu
menguap bersama sisa percakapan
Dan kita pun berselisih;
kau tulis larik-larik langit malam,
aku menelisik isi cangkir,
semakin dalam.
Yang Lebih Basah
Selain Kenangan
: Mandi Madu
Tak ada yang lebih basah
selain kenangan yang mengintip
punggungmu sehabis mandi
Kau bisa saja tersenyum pada cermin,
menepuk-nepuk pupur di pipi,
dan terus sembunyikan sembab tangis
Tapi tetap saja, tak ada yang lebih basah
selain kenangan yang kini menangis
di sekujur tubuh gincu yang merah malu
hingga bibirmu tampak lebih pucat,
seperti sarang lebah habis madu,
meski lidahmu basah, meski kau mendesah;
kasih dan sayangmu menyentuh hidupku...
2010
: Anggur Merah
Bibirku adalah kehausan yang sungguh,
adalah kegembiraan yang menghendak
kau sepenuh
seakan kau dipetik dari ladang terbaik
di tepian sungai yang subur, lalu diperam
hingga benar-benar berumur
Ronamu merah memikat.
Siapa yang tahan pada kilau
berkilat-kilat itu?
Yang teramat cerlang di bibir gelas,
terang dan hangat tergambar
begitu jelas
Akulah kesetiaan. Menunggu
segalanya tertuang, terbuang,
dan terulang
Hingga habis sesap manis,
sampai nanti ada yang akan
mengingat sisa-sisa hangat malam
lalu tersadar betapa sia-sia
kegembiraan,
dan betapa sesal segala
kemabukan
Meski - saat itu - Anggurku,
telah lepas dari cawan bibirku,
gawal dari takdirku.
2009-2010
Sebelum Masuk
Setelah Mabuk
: Gubuk Derita
Mengapa bilah-bilah bambu seakan
saling berpilin, bersiasat melawan angin?
Hingga suara-suara dari luar - gangguan
bagi mimpi-mimpimu - terjebak dingin.
Sementara berkas cahaya dari lampu begitu bebas
menerobos celah dinding, jendela dan pintu
Mengapa kita masih berharap jarak yang tegas
antara impian, kenyataan dan sejumlah ragu?
Aku - si pemabuk - yang hendak masuk,
teramat gusar meraba – mana dinding, mana pintu?
Sebab kau seperti dongeng yang kikuk,
dibuka dengan kalimat – “Di dalam gubuk bambu...
Lalu tikus, kucing, dan segala binatang penyusup dapur
cukup sudah mencuri seluruh sisa kegembiraan,
Dan segalanya. Ya! Segalanya seakan mencampur
sejumlah minuman, sebelum kamu mabuk dan dilenakan.
Tinggal tiang-tiang didentangkan jadi puisi
seperti ada yang berbicara tentang waktu,
tentang hal-hal yang terasa tak pernah berisi,
seperti selarik lirik; “di sini kudendangkan nasib diriku...
Menyeduh Sedih
Meniup-niup Perih
: Kopi Dangdut
Mengapa lagumu membilang bintang?
Di dalam cangkir, pekat malam dan kelat kopi
bersilang sepakat - berapa derajatkah titik didih sedih?
Dia yang hadir serupa asap tipis, meniupkan
sejumlah perih senyaring irama seruling,
segelisah rentak gendang yang gagap
menghitung degup di dadanya sendiri
Sampai kau seperti benar-benar mendengar
suara parau seseorang di masa lampau,
yang terbata-bata bercerita tentang luka
Tapi kau tak ada lagi di sana,
sebab kopi yang baru diseduh itu
menguap bersama sisa percakapan
Dan kita pun berselisih;
kau tulis larik-larik langit malam,
aku menelisik isi cangkir,
semakin dalam.
Yang Lebih Basah
Selain Kenangan
: Mandi Madu
Tak ada yang lebih basah
selain kenangan yang mengintip
punggungmu sehabis mandi
Kau bisa saja tersenyum pada cermin,
menepuk-nepuk pupur di pipi,
dan terus sembunyikan sembab tangis
Tapi tetap saja, tak ada yang lebih basah
selain kenangan yang kini menangis
di sekujur tubuh gincu yang merah malu
hingga bibirmu tampak lebih pucat,
seperti sarang lebah habis madu,
meski lidahmu basah, meski kau mendesah;
kasih dan sayangmu menyentuh hidupku...
2010
Comments