Potret Tukang Sado

Potret Tukang Sado

"Hidup adalah perjalanan," demikianlah dia memulai pembicaraan setiap kali aku berjumpa dengannya. Dengan cekatan dia menghela tali kekang dan dari mulutnya terdengar kata-kata yang nampaknya sangat dimengerti oleh kuda berkulit coklat yang dari dalam sado hanya kulihat pantat, ekor dan surainya yang bergerak-gerak.

Setiap hari minggu, ada seorang anak yang duduk di depan bersamanya. Si Tukang Sado tidak pernah mengenalkan siapa anak itu kepadaku, sehingga aku menduga bahwa itu anaknya. Hanya pernah dia tertawa sambil berkata,"Anak ini terjebak dalam lagu." Tanpa sadar aku pun mengikuti ketersesatannya itu sambil memutar lagu yang dia maksud; Pada hari Minggu kuturut ayah ke kota...Ah, akhirnya aku tahu siapa anak itu!

Pastinya, Tukang Sado itu pun dulu seperti anak itu. Dia tidak akan pernah bisa berkata "Hidup adalah perjalanan" jika tidak pernah tamasya naik sado keliling kota. Sampai akhirnya ketika ayahnya menua dan sakit-sakitan, sementara dia beranjak dewasa, dan yang tersisa adalah sado dan kuda, maka tak ada pilihan lagi baginya selain melanjutkan perjalanan hidupnya sebagai Tukang Sado, seperti ayahnya.

Tapi, banyak yang tidak tahu jika menjadi tukang sado bukan sekedar 'mengendarai kuda supaya baik jalannya' melainkan juga mencari ban bekas untuk memperbaiki roda sado, mencari rumput, membeli dedak, memeriksa ladam, juga memacak kuda supaya kehidupan sebagai tukang sado juga terus berjalan. Mungkin, dari keluh kesahnya sepanjang hari itulah dari mulutnya keluar kata-kata yang hanya bisa dimengerti oleh kuda. Bukan oleh seorang penumpang seperti aku. Kata-kata yang tak bisa kujumpai maknanya dalam kamus bahasa, tetapi bisa diartikan 'berhenti', 'maju', 'belok kanan' atau 'belok kiri.' Kata-kata singkat semacam 'her' 'hiya' bahkan isyarat pada tali kekang dan bunyi cambukan.

Seperti anak yang duduk di depan itu, aku sebenarnya tidak terlalu memperhatikan bagaimana dia mengendalikan sado dan kuda, yang kulihat adalah pemandangan sepanjang jalan. Ah! Mungkin itu pula kenapa dia selalu memulai pembicaraan dengan kalimat 'Hidup adalah perjalanan' bukan 'hidup adalah pengendalian.' Kalimat pembuka itu mengantar aku pada kenikmatan dan perasaan akan perjalanan ini, bukan untuk mengerti bagaimana kehidupan pribadi si Tukang Sado itu sendiri.

Paling-paling, pemandangan dalam perjalanan itu berubah seketika saat bertemu jalan protokol kota. Maka kami bertiga pun terpaksa menikmati pemandangan sub-urban. Orang-orang yang pergi ke pasar, rumah-rumah pinggiran kota yang sama sekali jauh dari kesan mewah dan indah. "Jalan-jalan utama Kota hanya bisa dilalui hari-hari tertentu saja," gumamnya. Sepertinya dia bicara soal kesempatan. Tapi aku tidak menanggapi, karena bagiku kesempatan masih suatu kemungkinan. Dan selama itu berarti mungkin dan sempat, maka masih bukan hal yang mustahil.

Aku menduga dia tidak pernah merasa dirinya sebagai pahlawan, atau orang terkenal. Tak sedikitpun ucapannya menyitir ungkapan para penyair, moto atau pameo yang lahir dari orang terpandang. Semuanya sederhana. Hanya tentang dia dan kuda. Meski begitu, aku bisa memahami, dunia micro cosmic adalah cerminan dari dunia yang macro cosmic tentunya. Hidupnya yang berputar dari seorang tukang sado tua ke tukang sado muda yang tentunya membatasi angan-angannya. "Bukannya kesempatan itu selalu ada?" Aku mulai bertanya. Dia menanggapinya dengan beragam perayaan. "Pada hari tanpa mobil dan motor, sado sering dicarter untuk berkeliling jalan protokol." Aku tersenyum lega. Tanganku mengusap kepala Si Kecil, tapi anak itu diam saja. Pandangannya tidak berpindah dari langit yang mulai senja. Nampaknya 'tamasya keliling kota' harus berakhir!

Namun perjalanan sesungguhnya baru dimulai. Aku berkemas; membujuk kenangan masa kecil yang terus merajuk ingin melanjutkan perjalanan, mengendalikan kuda-kuda mimpi yang liar masuk ke dalam kandang, lalu menyelipkan lelah ini ke dalam sarung yang begitu puitis membungkus tubuh kurus Tukang Sado itu.

Hiya!

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung