Tak Ada Kapal Berlayar di Langit

- Ahmad Yulden Erwin

Di tangan Kush, kapal berlayar
di tengah meja. Taplak putih,
tak berbuih. Kayu keras datar.

Di mata Paz, dermaga adalah tubuh,
melengkung dalam diri. Kau,
penyeberang yang bimbang. Sungguh.

Tapi, tak ada kapal berlayar di
langit. Hanya burung-burung hitam
dalam sangkar mirip kepala seseorang

tengah membaca puisi. Dunia sepi.
Penyair dan pelukis sama-sama diam.
Di kepala mereka, malam berenang.

Ombak adalah tangan terentang,
dan ikan-ikan seperti burung balam,
duduk meratapi seseorang yang mati.

Yang wajahnya tercetak pada uang
kertas, di atas meja loket, di mana
seseorang seperti engkau mengantri

saat keberangkatan.

2013

Comments

Unknown said…
saat membaca puisi ini di media cetak kompas beberapa hari yg lalu, bg saya puisi ini menarik.Menjelaskan kegelisahan eksistensial si penyair yg dituju,dengan membandingkan menuju kutub kegelisahan tokoh yg lain (bila pembaca membawa dirinya kepada impuls-impuls.)

"Di mata Paz, dermaga adalah tubuh,
melengkung dalam diri. Kau,
penyeberang yang bimbang. Sungguh."

Tapi setelah melanjutkan ke larik selanjutnya dikuatkan kembali dengan daimonion(tidak ekstrim) tanpa menghilangkan makna.

"Penyair dan pelukis sama-sama diam. Di kepala mereka, malam berenang."

Atau makna leksikal di ujung puisi
bila ditarik dari kutub bait sebelumnya.

"Yang wajahnya tercetak pada uang
kertas, di atas meja loket, di mana
seseorang seperti engkau mengantri saat keberangkatan"

eksperimen yg menarik
Unknown said…
This comment has been removed by the author.

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun