Aku Mengingat Barah di Jangat


Dengan mengiris kenangan berlapis,
aku mengingat barah di jangat.

Mencium kembali darah dan keringat,
menghidu lagi nanah paling amis.

Memutar peristiwa kecelakaan tragis,
betapa kata begitu berkarat.

Dan kota adalah kotak pepat
bagi kutukan imperialis.

Tak bisa kutampakkan lagi tangis
selain merutuk, meratap, rapat-rapat.

Membuat jarak antar kata tak sempat
rumuskan sepi, menjerumuskan alasan logis

mengapa suara terkabar lebih manis
dibandingkan apa yang sebenarnya telah tersurat

pada jaringan kulit, daging, atau serat.
Seperti ketika luka berubah kronis.

2015

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun