Ketika Puisi menjadi Cermin
catatan setelah membaca beberapa puisi
hitamkah pagi tuan?
saat bayanganmu memanjang,
mengikuti dengusmu
di tulang mana kau lencangkan bakti?
tak nampakpun derapnya,apalagi derunya
…
: mungkin cermin yang kau butuhkan ,Tuan
(Setakar Hujat Untuk Lelaki Kecut Berpupur – Doel MH)
Membaca sajak dari Doel MH ini. saya membayangkan diri sebagai cermin yang secara eksplisit dikatakan oleh penyairnya pada baris terakhir puisi itu. Saya juga berusaha mewujudkan pemandangan yang ada. Pagi hitam, tatapan mata yang kosong, dan seterusnya. Dan jika mengacu kepada beberapa pertanyaan/pernyataan yang ada di bait-bait selanjutnya seakan-akan meng-gambarkan bahwa yang orang yang dimaksud dalam puisi ini telah hidup tak sesuai dengan harap-an si aku liris.
Puisi adalah betul merupakan renungan pribadi si penyair terhadap apa saja. Maka dari itu isinya pun bisa bermacam-macam dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan negeri. Lantas kemudian ada yang mengkotak-kotakkannya menjadi puisi cinta, puisi religi, atau puisi protes sosial, dan bahkan puisi yang dihubung-hubungkan dengan ideologi dari si penyairnya itu. Jika pada hakikatnya puisi adalah hasil permenungan pribadi, tak ayal puisi telah menjadi cermin dari kepribadian si penyair. Misalnya ketika membaca sajak berikut ;
kita hanyalah rumpun ilalang
pada akar kita menumpang hidup
(Kepada Kering – Pakcik Achmad)
dengan prinsip puisi sebagai cermin kita bisa menduga bahwa si penyair adalah orang yang jeli dalam melihat sesuatu. Tak mungkin akar ilalang muncul begitu saja tanpa pengamatan dan permenungan yang dalam. Ilalang adalah rumput yang sukar untuk diberantas pertumbuhannya karena kemampuan akarnya yang tahan pada cuaca dan kondisi ekstrem. Apalagi ternyata setelah saya berbincang dengan penyairnya, dia mengatakan ilalang itu bisa tumbuh dengan hara yang sangat minim. Dan sajak-sajak Pakcik Achmad yang lainnya juga mencerminkan hal yang sama; kejelian menangkap esensi dari sesuatu. Seperti sajak ini;
kusibak enam,
: satu kulambung –
lima kuserak
kuhimpun enam,
: satu kutangkap –
limaku terserak
(Serimbang – Pakcik Achmad)
Serimbang adalah permainan tradisional masa kecil. Mirip dengan permainan bola bekel hanya tak menggunakan bola. Permainan yang mengandalkan keahlian tangan untuk menangkap dan menyebarkan bebijian / bebatuan. Tinggal tergantung pembaca untuk memaknai apakah yang dimaksud dengan biji/batu yang diserak-himpunkan oleh si aku liris dalam puisi ini. Nasibkah? Pe-kerjaankah? Silakan menerka.
Pun kita merasa diajak mencari sebuah kekosongan yang dialami penyair seperti Gita dengan mem-baca suasana pada salah satu puisinya ;
Ladang gersang
Dan kau, ilalang
Tiba tiba hilang
Malam terang
Dan aku, bintang
Dengan mata nyalang
: Mencari
(Yang Hilang – Gita Pratama)
Si aku-liris jelas sekali telah berusaha maksimal mencari keberadaan si dia-liris yang diibaratkan dengan rumpun ilalang di ladang gersang yang tiba-tiba menghilang. Dan dengan setianya si aku-liris menunggu walau sudah malam. Dan usahanya terasa maksimal ketika si aku-liris menjadi sebuah bintang yang terang hanya untuk mencari dia-liris yang hilang.
Akan tetapi mengibaratkan sebagai cermin untuk menduga-duga makna sebuah puisi terasa tidak maksimal ketika menjumpai puisi-puisi seperti ini ;
Rumah berkulit megah dan berkelamin
gerigi baja itu - di setiap uratnya berdaging kaca -
terukir mantra-mantra pengikat tujuh wujud kematian yang
ditakuti kehidupan. Adalah kebebasan akan terjadi
dari sana (diatas perbudakan sisa jiwa
terkurung). Empat nafas terjebak di kemegahan itu, meronta
dalam pelarian dibalik jeruji kematian. Menyadar
diri dirajam purnarupa paruh ajal, empat
nafas melacur hati demi penghancuran malapetaka dunianya.
(Empat Nafas – Leonowens SP)
Saya tidak membayangkan melihat sebuah rumah dengan bentuk yang aneh (yang punya kulit juga punya kelamin bergerigi baja, bahkan berurat daging kaca) yang dijagai oleh mantra-mantra suci untuk mengikat kematian, di mana ada empat orang (empat nafas) yang terjebak dan ingin lari. Dalam puisi-puisi seperti ini, saya hanya mencoba merasakan bahwa ada semacam keputusasaan yang dirasakan oleh si aku-liris yang diimajikan sebagai empat nafas sehingga si aku-liris harus melakukan hal yang bertentangan dengan jiwanya.
Oleh karena puisi dapat difungsikan sebagai cermin bagi pembaca untuk meneroka sampai pada pribadi penyair, apakah sebaiknya penyair mulai tekun untuk membuat baik dirinya maupun pesan dalam puisinya tidak transparan? Atau jika ada yang berpendapat tak perlu berindah-indah menyampaikan pesan seperti puisi-puisi yang beraliran realis, maka kita sebagai pembaca tak perlu repot-repot menggunakan cermin, tinggal kita lihat penyairnya; “Sudahkah dia rapi seperti puisinya?”
Jakarta, 14 September 2007.
catatan setelah membaca beberapa puisi
hitamkah pagi tuan?
saat bayanganmu memanjang,
mengikuti dengusmu
di tulang mana kau lencangkan bakti?
tak nampakpun derapnya,apalagi derunya
…
: mungkin cermin yang kau butuhkan ,Tuan
(Setakar Hujat Untuk Lelaki Kecut Berpupur – Doel MH)
Membaca sajak dari Doel MH ini. saya membayangkan diri sebagai cermin yang secara eksplisit dikatakan oleh penyairnya pada baris terakhir puisi itu. Saya juga berusaha mewujudkan pemandangan yang ada. Pagi hitam, tatapan mata yang kosong, dan seterusnya. Dan jika mengacu kepada beberapa pertanyaan/pernyataan yang ada di bait-bait selanjutnya seakan-akan meng-gambarkan bahwa yang orang yang dimaksud dalam puisi ini telah hidup tak sesuai dengan harap-an si aku liris.
Puisi adalah betul merupakan renungan pribadi si penyair terhadap apa saja. Maka dari itu isinya pun bisa bermacam-macam dari hal-hal yang pribadi sampai persoalan negeri. Lantas kemudian ada yang mengkotak-kotakkannya menjadi puisi cinta, puisi religi, atau puisi protes sosial, dan bahkan puisi yang dihubung-hubungkan dengan ideologi dari si penyairnya itu. Jika pada hakikatnya puisi adalah hasil permenungan pribadi, tak ayal puisi telah menjadi cermin dari kepribadian si penyair. Misalnya ketika membaca sajak berikut ;
kita hanyalah rumpun ilalang
pada akar kita menumpang hidup
(Kepada Kering – Pakcik Achmad)
dengan prinsip puisi sebagai cermin kita bisa menduga bahwa si penyair adalah orang yang jeli dalam melihat sesuatu. Tak mungkin akar ilalang muncul begitu saja tanpa pengamatan dan permenungan yang dalam. Ilalang adalah rumput yang sukar untuk diberantas pertumbuhannya karena kemampuan akarnya yang tahan pada cuaca dan kondisi ekstrem. Apalagi ternyata setelah saya berbincang dengan penyairnya, dia mengatakan ilalang itu bisa tumbuh dengan hara yang sangat minim. Dan sajak-sajak Pakcik Achmad yang lainnya juga mencerminkan hal yang sama; kejelian menangkap esensi dari sesuatu. Seperti sajak ini;
kusibak enam,
: satu kulambung –
lima kuserak
kuhimpun enam,
: satu kutangkap –
limaku terserak
(Serimbang – Pakcik Achmad)
Serimbang adalah permainan tradisional masa kecil. Mirip dengan permainan bola bekel hanya tak menggunakan bola. Permainan yang mengandalkan keahlian tangan untuk menangkap dan menyebarkan bebijian / bebatuan. Tinggal tergantung pembaca untuk memaknai apakah yang dimaksud dengan biji/batu yang diserak-himpunkan oleh si aku liris dalam puisi ini. Nasibkah? Pe-kerjaankah? Silakan menerka.
Pun kita merasa diajak mencari sebuah kekosongan yang dialami penyair seperti Gita dengan mem-baca suasana pada salah satu puisinya ;
Ladang gersang
Dan kau, ilalang
Tiba tiba hilang
Malam terang
Dan aku, bintang
Dengan mata nyalang
: Mencari
(Yang Hilang – Gita Pratama)
Si aku-liris jelas sekali telah berusaha maksimal mencari keberadaan si dia-liris yang diibaratkan dengan rumpun ilalang di ladang gersang yang tiba-tiba menghilang. Dan dengan setianya si aku-liris menunggu walau sudah malam. Dan usahanya terasa maksimal ketika si aku-liris menjadi sebuah bintang yang terang hanya untuk mencari dia-liris yang hilang.
Akan tetapi mengibaratkan sebagai cermin untuk menduga-duga makna sebuah puisi terasa tidak maksimal ketika menjumpai puisi-puisi seperti ini ;
Rumah berkulit megah dan berkelamin
gerigi baja itu - di setiap uratnya berdaging kaca -
terukir mantra-mantra pengikat tujuh wujud kematian yang
ditakuti kehidupan. Adalah kebebasan akan terjadi
dari sana (diatas perbudakan sisa jiwa
terkurung). Empat nafas terjebak di kemegahan itu, meronta
dalam pelarian dibalik jeruji kematian. Menyadar
diri dirajam purnarupa paruh ajal, empat
nafas melacur hati demi penghancuran malapetaka dunianya.
(Empat Nafas – Leonowens SP)
Saya tidak membayangkan melihat sebuah rumah dengan bentuk yang aneh (yang punya kulit juga punya kelamin bergerigi baja, bahkan berurat daging kaca) yang dijagai oleh mantra-mantra suci untuk mengikat kematian, di mana ada empat orang (empat nafas) yang terjebak dan ingin lari. Dalam puisi-puisi seperti ini, saya hanya mencoba merasakan bahwa ada semacam keputusasaan yang dirasakan oleh si aku-liris yang diimajikan sebagai empat nafas sehingga si aku-liris harus melakukan hal yang bertentangan dengan jiwanya.
Oleh karena puisi dapat difungsikan sebagai cermin bagi pembaca untuk meneroka sampai pada pribadi penyair, apakah sebaiknya penyair mulai tekun untuk membuat baik dirinya maupun pesan dalam puisinya tidak transparan? Atau jika ada yang berpendapat tak perlu berindah-indah menyampaikan pesan seperti puisi-puisi yang beraliran realis, maka kita sebagai pembaca tak perlu repot-repot menggunakan cermin, tinggal kita lihat penyairnya; “Sudahkah dia rapi seperti puisinya?”
Jakarta, 14 September 2007.
Comments