[IsengAsyik] Mencoba Menggambar Ruang Puisi

Stimulan, bagi penulis puisi pemula seperti saya, ibarat permen rasa sarsaparilla yang melonjak-lonjak di rongga mulut. Biasanya pada lonjakan pertama, penulis puisi pemula langsung merasa bisa untuk menjadikannya sebagai puisi. Demikian lonjakan-lonjakan berikutnya, dan hasilnya akan ada banyak puisi tercipta.

Untuk penulis yang sudah mempunyai wawasan yang sangat luas, hal ini tidak mengapa karena dia sudah pasti punya banyak pengalaman dan kenangan pada sebuah kata yang memicu puisi itu tercipta. Namun untuk penulis yang baru mengenal puisi, hal ini mengkuatirkan karena puisi-puisi yang tercipta dari tangannya masih akan terasa sebagai permen rasa sarsaparilla tadi.

Stimulan puisi pada dasarnya mempunyai dua sisi, di mana sisi pertama menunjuk kepada produktivitas kekaryaan, dan sisi kedua berkaitan dengan daya kreasi si penulisnya. Sekarang dengan kemudahan teknologi ada banyak puisi tercipta setiap harinya, tapi sedikit sekali yang benar-benar “puisi”. Puisi yang disebut terakhir adalah puisi yang mampu meruangkan setiap imaji kata-kata ke dalam ruangan yang megah. Sehingga ketika kita membacanya akan terpukau.

Dulu, ketika SMU saya, berhubung saya memilih jurusan A1, diperkenalkan dengan teori menggambar perspektif. Hal ini menurut kurikulum dimaksudkan agar siswa kelas mempunyai wawasan yang utuh dalam menyikapi segala persoalan. Perspektif adalah cara pandang kita terhadap sebuah benda. Dari sana, kita bisa melogikakan sebuah ukuran juga. Dalam pelajaran tersebut, saya mendapat pengetahuan bahwa sebuah benda biasanya dilihat dari 4 matra (atas –bawah-depan-belakang) dan juga bisa dikembangkan lagi menjadi 6 matra (atas-bawah-depan-belakang-sisi kanan-sisi kiri), 8 matra bahkan 10 matra. Ini ternyata sama halnya dengan pelajaran beberapa waktu lalu di dunia puisi mengenai Utuh dan Kompleks ala New Critic.

Setiap kata, bisa dirujuk menjadi seperti benda. Kata sifat pun bila diberi kata sandang tertentu bisa menjadi kata benda. Kata kerja pun demikian, diberi awalan saja dia bisa berubah menjadi kata benda. Secara gampangnya di sini, saya ingin mengatakan bahwa setiap kata adalah benda. Dan oleh karena itu, setiap kata bisa ditilik dari berbagai matra. Nah, akhirnya saya mulai berkesimpulan bahwa seharusnya “puisi” adalah ruangan yang megah bagi kata-kata itu sendiri. Di mana setiap katanya mempunyai kedalaman, ketinggian, dan keluasaan.

Namun sejauh ini, saya baru menemukan dua pandangan mengenai ruang dalam puisi itu sendiri. Yang pertama adalah puisi sebagai ruang logika imaji kata. Pada ruangan ini, imaji-imaji yang ada sepertinya harus memenuhi persyaratan logika kita. Keutuhan dipandang sebagai hal pokok yang perlu diperhatikan. Semisal pada sajak Pakcik Ahmad berikut :

Bertamu

bila kuketuk pintu rumahmu
mengucapkan salam
dan menanyakan "apa kabarmu ?"
masihkah kau sambut aku dengan
ungkapan manismu
"aku baik-baik saja, Njing !"

lantas kau persilahkan aku masuk
duduk di sofa terbarumu
mempersilahkanku mencicipi sirup leci dinginmu,
dan bertanya :
"apakah anak-anakmu masih mencari kenyang dari tempat sampahku ¿"

ketika jam bertik tok tik tok sampai pinggang langit memerah
kau persilahkanku untuk pulang
dan membawakan sebungkus oleh-oleh untuk keluargaku
"hanya kotoran ini yang dapat kubawakan, semoga kalian menikmatinya."

dalam perjalanan pulang,
aku berdoa untuk kebaikanmu dan keinginanku untuk menjadi kekasihmu

*pdk Indah 301107 – 15:55

Pada puisi ini, setiap imaji kata disusun ke dalam ruangan puisi mengikuti logika. Ketika bertamu, maka ada yang mengucap salam, menanyakan kabar, menyilakan duduk, memberi suguhan, dan sebagainya. Masuk akal bukan?

Yang kedua adalah puisi sebagai ruangan emosi. Pada ruangan ini, keutuhan imaji kata tidak lagi terlalu diperhatikan. Yang dipentingkan ketika membacanya adalah emosi yang tercipta. Perhatikan baik-baik puisi Millaty Syifa berikut :

Seumpama Ada

Sepertinya ini halusinasi. berhadapan
denganmu
. matamu yang puisi

Tiktaktiktaktiktak. betapa detak jam itu
pasti, perlahan dan wajar
tidak demikian jantungku.
kuharap kau tak mendengar.

Kursimu bergeser. maju.
nafasmu hangat. wajahmu. wajahku.
ah, lagi, matamu yang puisi

Kriiiing... gumaman di telepon genggam.
kursimu bergeser. mundur.

Es meleleh. gelas mengembun
. mataku

04Des07

Pada puisi tersebut, sebenarnya banyak imaji yang secara logika “tidak seharusnya ada” di “ruangan” itu. “Detak jam”, “kursi”, “telepon genggam”, “es”, dan “gelas” sama sekali tidak berhubungan dengan “matamu yang puisi”. Walaupun puisi ini secara utuh belum berhasil menjadi ruangan yang megah, karena tidak terekplorasinya kata yang “utama” yaitu mata, tetapi ini puisi yang menggambarkan bahwa puisi adakalanya berada pada tataran ruang emosi. Dengan membayangkan peristiwa-peristiwa itu menjadi nyata, maka pembaca akan dapat turut merasakan emosi / perasaan si penulisnya. Ketika saya membaca puisi ini, saya merasakan “rasa kecewa”, tapi mungkin bagi pembaca lain tak sama.

Saya tidak mencoba mengatakan bahwa ruangan satu dan lainnya itu berbeda satu sama lain. Tetapi ada kecenderungan jika kita menemukan puisi yang menjadi ruang emosi, rata-rata di sana, logika penyusunan imaji kata sudah tidak diperhatikan. Kata telah menjadi instalasi penyusunan emosi. Ruang yang disebut pertama, juga tidak berarti tak ada emosi yang diciptakan. Biasanya ruang logika kata malah kaya dengan permenungan makna yang dalam. Ah, tapi ini semua bisa saja salah. Sebab saya masih baru memulai menjelajah puisi. Dan sangat mungkin ada ruang-ruang lain dari puisi yang belum saya eksplorasi. Mau bergabung?

2007

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung