Dylan yang Tak Pernah Berniat jadi Penyair
Di tahun 1963, Bob Dylan berusia sekitar 22 tahun. Indonesia saat itu
baru saja melakukan rekonsiliasi hubungan diplomatik dengan Belanda setelah perebutan
wilayah di Papua. Paus Yohanes ke-13 yang dalam tahun itu tengah menyerukan
agar dunia berdamai pada aspek kejujuran, keadilan, kebaikan, dan pembebasan, wafat
di tahun yang sama. Martin Luther King Jr. menyuarakan impiannya tentang kesetaraan
bagi kaum afro-amerika sementara Nelson
Mandela mulai diadili dan dipenjara. Dan barangkali hal yang paling fenomenal bagi
orang Amerika seperti Dylan, pada tahun itu adalah pembunuhan JFK.
Pada tahun itu, di usia ke 22, Bob Dylan menuliskan sebuah lagu berjudul
“It’s a Hard Rain’s a-Gonna Fall” dengan pengulangan pada sebutan di awal bait
lagu, “my blue-eyed son”, dan “my darling young one”, serta sebuah keadaan yang
dia gambarkan seperti hujan lebat yang akan turun mengguyur kota. Yang begitu
lebatnya atau derasnya, dia gambarkan dengan pengulangan kalimat “And it’s a hard, and it’s a hard, it’s a
hard, it’s a hard // And it’s a hard rain’s a-gonna fall.”
Penyebutan anak dan kekasih yang muda usia dimungkinkan adalah
penyebutan untuk dirinya sendiri yang diekspos dengan gambar sampul dirinya dengan
jaket cokelat muda dan celana jins biru muda yang sedang dipeluk perempuan muda
pada sampul album The Freewheeling Bob Dylan. Aneka kejadian penting di tahun
1963 (paling tidak yang terjadi di Amerika) membuatnya bertanya dan ingin
meresponi keadaan itu. Dan segala yang dia rasakan, saksikan, dan harapkan dia
tuliskan lewat lagu It’s a Hard Rain’s a-Gonna Fall itu.
Ketika membaca lirik lagu itu, keadaan sekarang di mana diberitakan di Suriah,
yaitu di Palmyra, Mosul, dan Allepo banyak orang menderita karena perang, lirik
lagu itu terasa sekali relevansinya, seperti pada larik “I saw a black branch
with blood that kept drippin’ //
I saw a room full of men with their hammers a-bleedin’ // I saw a white ladder all covered with water.” Harapan, bagi Dylan dalam kondisi di mana darah terus mengucur, dan terus ditumpahkan, seperti tangga putih tapi berair, tak akan bisa dipanjat!
I saw a room full of men with their hammers a-bleedin’ // I saw a white ladder all covered with water.” Harapan, bagi Dylan dalam kondisi di mana darah terus mengucur, dan terus ditumpahkan, seperti tangga putih tapi berair, tak akan bisa dipanjat!
Atau kalau digeser lebih dekat ke Indonesia, seumpama, di mana kebencian
begitu mudah kita dapatkan via media sosial, pada lirik lagu itu juga Dylan
suarakan sebagai, “I met another man who was wounded with hatred” Hal itu
jelas, karena pasti ada orang yang terluka karena kebencian yang disebar itu. Jadi
lirik lagu ini masih punya korelasi dengan kondisi sekarang ini.
Itu baru soal kesesuaian lirik lagu itu dengan keadaan. Bagaimana dengan
penulisannya? Dylan sangat sadar dirinya terpengaruh pada karya-karya sastra,
sehingga pemilihan kata dalam menulis lagu pun begitu diperhatikan. Rima,
sesuatu yang dia selalu banggakan dan sering ia lakukan sebagai bunyi yang
mirip atau sama di akhir kalimat justru hanya ia lakukan pada bait ke dua saja,
tidak dengan bait-bait yang lainnya, kecuali bagian akhir ada di empat larik
akhirnya. Dalam menulis lagu ini, dia malah gunakan beberapa alat puitika untuk
membuat lirik lagu ini makin menarik. Perhatikan larik-larik pada bait pertama
lagu itu, berikut ini:
I’ve stumbled on
the side of twelve misty mountains
I’ve walked and
I’ve crawled on six crooked highways
I’ve stepped in the
middle of seven sad forests
I’ve been out in
front of a dozen dead oceans
I’ve been ten
thousand miles in the mouth of a graveyard
Perhatikanlah bagaimana Dylan merangkai; stumbled dengan side, misty dengan mountains, lalu walked –crawled - crooked, seven-sad-forest
(dengarkan bunyi desis s-nya), dozen
dengan dead. Perangkaian itu
menunjukkan Dylan memang punya kualitas sebagai penulis puisi alih-alih disebut
penyair. Dylan juga menulis dengan
mempertentangkan satu dan lain hal untuk mendapatkan daya puitik seperti pada;
I met a young child beside a dead pony,
I met a white man who walked a black dog,
I met one man who was wounded in love // I met another man who was
wounded with hatred,
Dylan tak lupa menyisipkan gaya pamflet pada lirik lagu itu;
Where hunger is
ugly, where souls are forgotten
Where black is the
color, where none is the number
Dari lagu ini saja terlihat betapa terampil Dylan menulis lirik lagu
sehingga sulit rasanya untuk dibedakan dengan puisi. Tapi yang terpenting dari
itu, Dylan memang sudah sadar bahwa dia memilih tidak untuk menjadi penyair,
dan itu terlihat dari lirik lagu ini, di mana dituliskan;
And I’ll tell it
and think it and speak it and breathe it
And reflect it from
the mountain so all souls can see it
Then I’ll stand on
the ocean until I start sinkin’
But I’ll know my
song well before I start singin’
Dylan akan mengolah semua peristiwa yang dia rasakan, dan melahirkan
sebuah lagu untuk dinyanyikannya. Ya, sebuah lagu, menurut niatannya. Bukan
puisi. Apalagi jika jika menuruti pendapat yang beredar bahwa puisi atau bukan
dilihat dari niatnya. Meskipun, seperti paparan ini, bahwa ketika menulis Dylan
menggunakan banyak alat puitika.
Catatan: Untuk lirik lagu lengkapnya bisa dilihat di sini.
Comments