Bincang Buku Puisi #1: Malaikat Cacat Sam Haidy

Judul buku : Malaikat Cacat
Penulis : Sam Haidy 
Penerbit : IBC Indie Book Corner
Cetakan I : 2017
Hal : 64 halaman
 
Ada 51 puisi di dalam buku tipis ini. Uniknya, penulis menggunakan dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris dalam menyusun puisi-puisi itu. Setidaknya, ada 17 judul puisi ditulis oleh Sam Haidy dalam bahasa Inggris dalam buku ini. Rata-rata 51 puisi yang ada dalam buku ini adalah puisi berukuran pendek. Bahkan ada puisi yang jika dilakukan paraphrase sebenarnya adalah satu kalimat saja. Seperti puisi berjudul Expansion berikut;
 
Expansion
 
Master
Of 
Unimportant
Issue
 
Memahami puisi pendek tentulah sebenarnya sesuatu yang pelik, mengingat puisi pendek ditulis atau dibuat karena penulis harus benar-benar menyadari bahwa kata-kata yang jumlahnya sedikit itu adalah sesuatu yang punya daya ledak hebat di dalam pikiran pembacanya kelak. Bukan hanya itu, sintaksis (hubungan antar kata) dalam puisi pendek biasanya juga mengejutkan. Ambillah contoh puisi dari Philip Larkin berjudul Library Ode ini;
 
Library Ode
 
New eyes each year
Find old books here
And new books, too
Old eyes renew;
So youth and age
Like ink and page
In this house join,
Minting new coin.

Bisa dilihat dalam puisi tersebut bahwa hubungan antar kata (sintaksis) dalam tiap lariknya bisa menimbulkan kejutan atau pertanyaan, akan maksud dari rangkaian kata tersebut. Inilah kekuatan dari puisi pendek, sebenarnya. Barangkali, puisi dari Sam Haidy yang berjudul Reborn sedikit menjawab mengenai hal ini.
 
Reborn
 
I reset my age
To the date when I met you
A birth with no cry
 
Sebenarnya, puisi pendek di Indonesia bisa didapatkan dalam berbagai sumber tradisi. Di Jawa, puisi pendek atau sesuatu yang ditulis dengan rumusan tertentu adalah tembang-tembang macapat, sementara dari Melayu, kita mengenal pantun. Namun puisi-puisi pendek Sam Haidy dalam buku ini jelas tidak sedang menunjukkan adanya indikasi keterpengaruhan terhadap dua tradisi lokal ini.
 
Pada era tehnologi informasi yang sedemikian maju, seringnya orang mengutip sebagian dari karya yang seolah mencerminkan kondisi dirinya lalu akan dia bagikankan pada peer group-nya. Ini adalah bagian dari mitos mengenai kaum yang disebut milenial, dan hal itu menurut beberapa penelitian dan survei sudah menjadi ciri dari generasi tersebut. Tidak heran di beberapa media sosial seperti Instagram, twitter, atau facebook sering orang membagi apa yang sering disebut quotable statement dan salah satunya adalah puisi atau petikan dari puisi.
 
Fenomena ini pernah ditangkap oleh penyair Joko Pinurbo yang beberapa tahun lalu menerbitkan buku puisi dengan isi puisi-puisi yang ditulis dengan batasan pada posting twitter yaitu 140 karakter berjudul Haduh Aku Di-follow dan meskipun dengan keterbatasan karakter, tetapi Joko Pinurbo bisa mengolahnya sehingga tidak terjebak menjadi kalimat biasa. Contohnya;
 
Tiap pagi ia menghangatkan rindu yang sudah basi dan tetap saja percaya bahwa itu bergizi.
 
Barangkali, untuk bisa memasuki puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi “Malaikat Cacat” ini, bisa melalui puisi yang berusaha menyelinap dari bayang-bayang Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono ini;
 
Aku Ingin Seperti Bulan
 
Aku tak ingin seperti hujan 
Hanya dirindukan pada waktu tertentu 
Dan selebihnya mengganggu
 
Aku tak ingin seperti matahari 
Hanya disukai saat datang dan pergi 
Sedang tengah hari disumpah-serapahi
 
Aku ingin seperti bulan 
Penuh atau separuh tetap dicintai
 
Sebenarnya, dari puisi ini tampak jelas bahwa puisi-puisi Sam Haidy berangkat dari sebuah cetusan perasaan, atau respon terhadap situasi, bahkan sampai pada semacam sugesti atau nasihat, meskipun di dalam penyampaiannya digunakan beragam pengandaian atau metafora.
 
Namun, ada beberapa puisi dalam Malaikat Cacat justru ke luar dari hal-hal yang disebut di atas. Puisi Her Majesty, Underwhelmed, (Ob)Scene dan Dearest Help justru secara baik menggugah dan memantik keingintahuan untuk mencari tahu kira-kira makna apa yang dikandung dalam puisi-puisi itu. Uniknya, Sam Haidy menulis puisi dengan gaya naratif dan itu menghasilkan sebuah ruang terbuka bagi pembaca untuk bisa masuk dan terbawa suasana yang dibangun dalam puisi-puisi itu. Berikut puisi yang berjudul (Ob)Scene;
 
(Ob)Scene
 
The morning just began
The late-hurry prostitute climbing up
The not-open-yet hotel gate
 
The virgin hill stands still
Her chilly hand caressing my skin…
 
The virgin hill, jika Sam Haidy sebagai penulis memang mengartikannya sebagai benar-benar sebuah bukit, pembaca akan sah-sah saja mengaitkannya pada peristiwa di bait pertama lalu menyeret pemikiran mereka pada puncak gunung es pelacuran di Indonesia, misalnya. Artinya, sebuah ruang di dalam puisi sudah dibuka.
 
Dan begitulah seharusnya puisi itu. Membuka ruang agar banyak hal bisa dipetik atau dikaitkan. Seperti misalnya puisi Aku karya Chairil Anwar bisa dihubungkan dengan Hukum Kekekalan Energi atau waktu paruh sebuah atom, karena frasa-nya yang terkenal “Aku mau hidup seribu tahun lagi” menunjukkan bahwa kemauan atau cita-cita itu bersifat abadi, walau orangnya sudah mati, hal ini sejalan dengan energi yang tidak dapat hilang melainkan hanya berubah bentuk. Atau bahwa aku (dalam hal ini pengarangnya yaitu Chairil Anwar) mungkin akan terlupakan setelah 1000 tahun dari kematiannya, itu bisa dimungkinkan jika dalam buku-buku pelajaran puisi-puisi yang dijadikan contoh sudah digantikan oleh karya-karya M. Aan Mansyur, Mario F Lawi, atau Norman Erik Pasaribu misalnya, dan itu sejalan dengan waktu paruh sebuah atom yang kadang bisa melebihi usia manusia seperti karbon yang baru bisa hilang setelah 200 tahun lamanya.
 
Malaikat Cacat adalah buku puisi kedua dari Sam Haidy setelah Nocturne yang juga berisi puisi-puisi dwi bahasa Inggris-Indonesia, dan jika melihat puisi-puisi dari kedua buku ini bisa dikatakan bahwa Sam Haidy masih menerapkan gaya yang sama dari buku pertamanya itu. Temuan pada empat puisi di atas setidaknya menunjukkan adanya sesuatu yang berbeda. Mudah-mudahan pada buku puisi berikutnya akan semakin banyak hal-hal semacam itu.
 
Jakarta, Mei 2017

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung