Bincang Buku Puisi #2 : Bekal Kunjungan Nermi Silaban

 
Judul buku : Bekal Kunjungan, Sepilihan Puisi Nermi Silaban 
Penulis : Nermi Silaban 
Penerbit : Gambang bukubudaya
Cetakan I : April 2017
Hal : vii+ 82 halaman
 
 
 
Ia pacu sejauhnya hanya ke tepian senja
Batas yang membuat dirinya bertanya-tanya:
Bunda, kenapa kita tidak menempuhnya
Bukankah ayah telah berjanji menjaga kita?
 
(Kisah Menggambar)
 
Puisi, sebagai bagian dari seni yang merupakan superstruktur, jelas tidak dipisahkan dari struktur dan infrastuktur pembentuknya yaitu manusia dan lingkungannya. Lingkungan dalam hal ini bukan sekadar rumah dan tempat tinggalnya saja, tetapi juga relasi yang dibentuk oleh manusia itu. Ekologi, menurut teori Darwin, bukan sekadar tempat tinggal individual, tetapi sekaligus di dalamnya ada rantai hidup baik makanan maupun energi. Singkatnya, pembuatan puisi pastinya melibatkan dan mengisyaratkan adanya hubungan antar manusia, manusia dan lingkungan, pengaruh yang didapatkannya dan pandangannya terhadap semua itu. Jika boleh dianalogikan, untuk memahami puisi, kita harus bisa masuk ke dalam ruangan yang sama yang dialami oleh penulisnya. Kira-kira demikian.
 
Pijakan kita untuk bisa masuk pada ruangan yang sama adalah kata-kata yang ada pada tubuh puisi itu. Darinya kita akan beroleh tanda. Pada petikan puisi di atas, Nermi Silaban mengetengahkan sekaligus mengambangkan batasan-batasan ruang itu baik melalui pertanyaan, ataupun sebuah pernyataan; “…siapa mau duduk di kursi saksi…” (Kesaksian), atau malah sesungguhnya ingin mengabaikan batasan-batasan itu; ia telah memilih seluruh hidupnya itu / tanpa sekalipun bertanya pada alamat / cuma pulanglah sebagai penjuru / yang dinantinya untuk lekas lalu. (Di Stasiun Tua).
Kalimat “siapa mau duduk” mengisyaratkan sebuah suasana kepergian. Demikian juga dengan kalimat “cuma pulang lah sebagai penjuru.” Nemi Silaban sedang berusaha mengatakan bahwa ruangan yang kita masuki adalah ruang yang bergerak. Semacam tubuh moda transportasi yang kita naiki. Dengan begitu, kumpulan puisi ini adalah sesuatu yang bergerak dari suatu titik ke titik lainnya. Dan jika kita perhatikan riwayat dari penulisnya, maka dugaan itu tidak salah, karena Nemi Silaban adalah seorang perantau. Dia datang dari Pematang Siantar, mencari ilmu di Bandung, dan sekarang menetap di Yogyakarta.
 
Pembagian buku ini menjadi tiga bagian yaitu Bekal Kunjungan – Ungkapan – Potret Bagi Kalian, terlihat seperti batasan yang lain dari ruang itu. Bekal Kunjungan adalah latar belakang tradisi, Ungkapan adalah pengaruh-pengaruh eksternal, sedangkan Potret Bagi Kalian seperti memberikan gambaran mengenai aku lirik secara internal. Hal ini tentu tidak asal-asalan mengingat pada bagian Bekal Kunjungan banyak sekali hal-hal yang bersifat lokal Sumatera Utara seperti andaliman, sebutan Si Mardan, kata ‘babiat’ untuk merujuk harimau, kata ‘huta’ yang secara spesifik menyebutkan persekutuan orang-orang dari satu nenek moyang, hasapi untuk kecapi, dan lain-lain.
 
Sedangkan untuk Ungkapan, salah satu yang mempertegas mengenai pengaruh eksternal adalah penyebutan nama Guo Xiang, dalam puisi “Berlatih Jurus-Jurus Guo Xiang,” atau pada kalimat “Dari hadapanmu silau lampu sontak menembak,” pada puisi “Keseharian Sajak,” atau pernyataan “Bahkan tempatku datang dan pulang / berbenah dalam dadamu,” pada puisi “Menulis Engkau.”
 
Pernyataan aku lirik yang kuat sebagai batasan internal dari aku lirik dan ruang puisi dalam buku ini muncul pada kalimat “Tak ingin hanya duduk di sini / jadi satu obyek dalam kanvasmu” dan juga pada bait ke dua dan bait ke empat pada puisi Potret Bagi Kalian. Jadi, kita semua masuk pada sebuah petualangan dalam buku Bekal Kunjungan ini. Pertanyaan selanjutnya adalah “Ke mana kita hendak dibawa?”
 
 
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu 

(Padamu Jua, Amir Hamzah)
 
Kenangan adalah bara untuk sebuah tulisan ataupun cita-cita. Seorang yang dilahirkan dari keluarga miskin pasti mengingat kemiskinan itu sebagai lecutan dalam bekerja supaya ia tak kembali jatuh miskin. Seorang yang dilahirkan dalam keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang selalu mendamba kehidupan seperti itu kelak jika berkeluarga. Pada hal-hal semacam itu, masa lalu bisa menjadi titik tolak yang jelas untuk masa depan. Tempat yang dulu ditinggalkan akan dituju kembali. Dalam puisi “Minggu Pengantinmu,” Nermi menuliskan begini: Sampailah / pestamu, balon-balon gas meninggi – kenangan / sekaligus mimpi. Atau pada puisi “Liburan Sajak” ditulis pada bait terakhirnya, “Pikiranmu adalah selepas pesawat di bandara, sebuah pulau telah mekar di bawah gugus awan. Aneh, masih juga kauratapi bunga kenang-kenangan itu.” Atau secara jelas dalam puisi “Pada Sebuah Halte” ditulis demikian, “Karena masa depan ialah seorang ibu yang bertumpu dagu di kusen jendela,…”
 
Tarik ulur yang kuat antara masa lalu dan masa depan yang juga bertujuan menjenguk masa lalu sebenarnya telah terlihat pada puisi “Anak yang Pergi” karena pada bait terakhir terasa bahwa si aku lirik itu sangat ragu untuk berpisah dengan menyatakan “Aku seret tubuhku masuk…” atau pada puisi “Di Dekat Dermaga” di mana pada akhirnya aku lirik itu pasrah, “Lalu kami serahkan nasib ke juru kemudi, / memutus hubungan kepada lambaian / tangan.”
 
Pada puisi Amir Hamzah yang dikutip di atas, yang (akhirnya) pulang itu adalah aku. Karena itu Nemi menuliskan ketika kepulangan itu terjadi maka “Ibuku tidak tahu kado apa / bisa dibungkus dengan pita.” Ya, karena aku lirik yang pulang kembali pada haribaan ibunda adalah sesuatu yang bisa dibungkus dalam pita bernama kerinduan. Dan kerinduan inilah intisari dari buku Bekal Kunjungan karya Nermi Silaban.
 
Pada akhirnya, kita memang tidak dibawa ke mana-mana oleh Nermi Silaban lewat buku ini, tapi kita mendapatkan banyak sekali tanda-tanda kerinduan yang ia bangun sebagai ruang dalam puisi-puisinya, seperti pada bait terakhir Narasi Untuk Mawar, ia menuliskan demikian;
 
di mana kau akhirnya cukup terima saja 
tanpa merasa sia-sia jadi setangkai tanda 
yang dipetik demi sebuah karangan kata
 
Ya, memang tak boleh ada yang merasa sia-sia. Meskipun pada kenyataannya kita bergerak ke masa depan yang adalah juga masa lalu. Nermi Silaban lewat Bekal Kunjungan seolah menegaskan bahwa ke mana pun kita pergi yang seharusnya dijadikan bekal adalah diri sendiri. Utamanya, kerinduan yang membawa diri ini pergi.
 
Jakarta, Mei 2017

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung