Togog Kosong Nyaring Duitnya

Sebuah Sindiran untuk genre Puisi Esai Indonesia
 
Pada tahun 1729 sampai dengan tahun 1731, Alexander Pope menuliskan esai filosofis dengan bentuk puisi, menggunakan kuplet dengan iambik pentameter. Esai berbentuk puisi itu berjudul An Essay of A Man. Terdiri dari empat epistel (bagian) di mana yang pertama mengulas hubungan antara manusia dengan semesta, yang ke dua mengulas manusia berbicara mengenai dirinya sendiri sebagai mahluk individual, yang ke tiga mengulas hubungan antara manusia dengan lingkungannya (manusia sebagai mahluk sosial) dan yang terakhir adalah pertanyaan-pertanyaan potensial bagi manusia mengenai kebahagiaan. Tulisan itu dipublikasikan tahun 1733 – 1734, dan mendapatkan penghargaan luar biasa dari beberapa tokoh seperti Voltaire, Rouseau, bahkan Emanuel Kant. Inilah pertama kalinya sebuah esai ditulis dalam wujud puisi.
 
Menurut pengertian Thomas Gray, tulisan semacam itu dikelompokkan ke dalam satu jenis yang diberi nama puisi esai. Penjelasannya adalah sebuah komposisi ekspositori pendek dalam puisi, yang biasanya ditujukan untuk khalayak umum, yang mencoba membujuk pembaca untuk mengadopsi cara tertentu untuk melihat sebuah topik. Puisi esai adalah cara puitis klasik untuk diskusi tentang topik apapun. Berdasarkan pengertian ini, puisi esai bisa dibilang sebagai esai yang dituliskan dengan aturan puisi klasik.
 
Hampir 300 tahun berselang, di Indonesia, mengatasnamakan kebaruan, ada yang mendeklarasikan munculnya genre puisi baru yang dalam penyusunannya (saya kutip dari syarat lomba) mewajibkan:
a. Tema sosial sebagai tema dari tulisan tersebut.
b. Menggunakan penokohan, yang mana tokohnya adalah sosok di tengah pergulatan sosial maupun sosok yang melibatkan diri dalam situasi sosial yang problematis. Tokoh harus dieksplorasi dan dihadirkan pergulatan psikologis dan gambaran batinnya dan harus menggam-barkan perkembangan psikologis tokohnya. Puisi esai dianggap berhasil jika tokohnya menyentuh pembaca.
c. Mempunyai alur cerita
d. Memiliki latar (belakang) sosial yang benar-benar pernah terjadi, baik di masa kini maupun di masa lalu. Acuan pada kenyataan ditunjukkan oleh adanya Catatan Kaki.
e. Punya Catatan Kaki berupa hasil riset/penelitian sosial, makalah, buku ilmiah, maupun pemberitaan di media massa.
f. Ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, komunikatif, serta mudah dimengerti. Penggunaan metafora, simbol, rima, metrum, dan berbagai gaya bahasa lainnya, dibolehkan —bahkan dianjurkan— namun harus tetap komunikatif dan mudah dipahami. Puisi esai dianggap berhasil jika dapat dipahami publik seluas-luasnya.
untuk kemudian, dalam bukunya “Puisi Esai: Kemungkinan Baru Bagi Puisi Indonesia” diberi nama Puisi Esai. Melihat kronologis ini, jelas menunjukkan bahwa pendeklarasi puisi esai itu buta pada sejarah sastra sehingga menisbatkan nama Puisi Esai pada puisi “ciptaannya” itu.
 
Tema sosial dalam puisi Indonesia sudah banyak diangkat sebelum tahun 2013. Rendra bahkan tahun 1980-an menerbitkan Potret Puisi dalam Pembangunan yang sangat sarat dengan tema-tema sosial pada puisi-puisinya. Widji Thukul juga sangat aktif menuliskan tema-tema sosial dalam puisi-puisinya sampai harus dihilangkan. Jadi, syarat tema sosial sebagai bagian dari penemuan puisi yang dianggap baru itu bukanlah suatu kebaruan.
 
Penokohan, alur cerita, dan latar sosial, dalam puisi Indonesia sudah juga digarap oleh beberapa penyair seperti Linus Suryadi AG dengan puisinya Pengakuan Pariyem, Puisi balada Rendra dengan tema sosial pelacur dan kemiskinan seperti puisi Nyanyian Angsa adalah bukti bahwa puisi yang ada tokoh dan alur ceritanya yang disebut puisi balada juga sudah pernah dipraktekkan oleh para penyair Indonesia dan tak perlu ada nama baru untuk puisi dengan muatan seperti itu.
 
Puisi dengan catatan kaki, di khazanah perpuisian Indonesia telah dilakukan oleh Hamzah Fansuri pada abad ke 14, dan tak perlu ada nama baru untuk puisi dengan catatan kaki. Beberapa puisi modern yang dimuat di media massa juga ada beberapa yang menggunakan catatan kaki untuk menjelaskan hal-hal yang dikutip dalam tubuh puisinya. Jadi puisi dengan catatan kaki juga bukan hal baru.
 
Hal lain yang tidak ada pada puisi yang dianggap ciptaan baru itu jika ia menyebut temuannya adalah puisi esai adalah justru pada nilai esai itu. Ia mengatakan bahwa esai itu berkaitan dengan fakta yang terjadi dan benar-benar terjadi, yang dengan bentuk puisi menjadi seolah fiksi. Padahal pengertian tulisan esai meskipun beragam cara penulisannya yang paling penting adalah mengandung argumentasi dari penulisnya! Sedangkan dalam puisi ciptaan baru itu, argumentasi penulis justru dikaburkan dengan alur cerita, penokohan, bahasa dan tema.
 
Kembali pada pengertian esai, seperti ditulis pada Wikipedia (https://en.wikipedia.org/wiki/Essay) justru penulis esai dibebaskan untuk menuliskan bentuknya. Bisa berbentuk kertas kerja ilmiah (paper), artikel, pamflet, bahkan cerita pendek seperti yang dimaui oleh yang merasa menemukan ciptaan baru itu (mengandung tokoh, alur cerita, dramatisasi, latar). Hal ini menunjukkan bahwa ia juga tidak pernah memahami betul soal penulisan esai sehingga ketika menulis esai yang dibuat cerita dalam bentuk puisi itu lantas merasa menemukan hal yang benar-benar baru di dunia perpuisian.
Dalam dunia puisi secara luas, ada yang disebut sebagai free-verse poems. Puisi berbentuk bebas. Tidak lagi terikat aturan persajakan. Ini pun bisa menampung keinginan yang macam-macam bagi yang merasa menemukan ciptaan baru itu (khususnya untuk menyinggung tema-tema sosial terkini) tanpa harus merasa sebagai hal yang baru. Itulah kenapa sejak 2013 perlawanan terhadap klaim palsu puisi esai muncul.
 
Belum lagi, soal bagaimana liciknya puisi-puisi yang dianggap ciptaan baru itu dibudidayakan kepada para sastrawan baik yang senior ataupun yang junior. Pertama, dengan memelintir anggapan legitimasi pada pengantar-pengantar dari para sastrawan senior di mana klaim kebaruan itu justru jelas terbaca dalam pengantar-pengantar itu datangnya dari yang mengaku menemukan genre baru. Yang kedua adalah proyek penulisan yang dilakukan dengan memberikan honor jutaan rupiah agar para sastrawan senior itu menulis puisi dengan model seperti yang disebut di atas, yang ujungnya dengan bukti-bukti itu (dilengkapi dengan penggarapan film pendek dari puisi-puisi itu, dan juga pembacaan-pembacaan puisi-puisi ciptaan para sastrawan senior itu) dibuatlah buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia. Walhasil, banyak pihak yang merasa tertipu karena merasa dimanfaatkan. Beberapa sastrawan menyatakan mundur dan mengembalikan uang honor.
 
Setelah hampir 5 tahun tidak ada gegap gempitanya puisi esai, tahun 2017 dan awal tahun 2018 ini publik kembali digegerkan dengan Gerakan Puisi Esai yang lagi-lagi berhonor jutaan rupiah. Kegiatan ini berupa pengumpulan kesediaan menulis dan tulisan di mana setiap orang yang bersedia menulis (diberi kontrak penulisan) mendapat panjar 1 juta rupiah dan begitu selesai ia menulis diberi lagi 4 juta rupiah sehingga setiap penulis mendapatkan 5 juta rupiah. Jumlah yang fantastis di Indonesia untuk ukuran honor penulisan puisi.
 
Tetapi apakah sebanding? Muhammad De Putra, penerima Anugerah Kebudayaan kategori anak dan remaja yang baru berusia 16 tahun mengaku bahwa harus menyelesaikan 45 halaman puisi untuk urusan Gerakan Puisi Esai Nasional ini. Melihat kenyataan seperti ini, agaknya jika si pencetus puisi ini tidak kaya raya, sehingga bisa membayar sastrawan-sastrawan yang perlu uang cukup besar, tentu puisi model ini tidak akan pernah menjadi sesuatu yang diinginkan orang untuk menulisnya.
 
Pertanyaan yang mengarah pada kami yang menentang puisi model ini sebenarnya sudah dapat dijawab dengan jelas dan tegas, bahwa puisi model itu tidak perlu dinyatakan sebagai kebaruan bagi puisi Indonesia karena memang tak ada kebaruan apapun yang ada dalam puisi model itu. Dari tema, atau isi, dan bentuknya. Andai saja pencetusnya tidak menyatakan bahwa ini adalah kebaruan, atau dalam bahasanya adalah genre baru puisi di (puisi) Indonesia, tentulah kami tidak keberatan. Lagipula menamakan sesuatu yang pernah ada kepada sesuatu yang dianggap baru, bukankah itu suatu kekonyolan belaka?
 
Bayangkan jika, katakanlah gerakan ini berhasil membawa si pencetus pada level internasional, ketika disebut prestasinya adalah menemukan puisi esai, tentu hal ini akan jadi bahan tertawaan seluruh dunia. 
 
Jakarta, Januari 2018

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun