Somehow, dari Darbo

101 Lampu Lemak
untuk Almarhum Paman

 

~ Perlu seratus cahaya
untuk kesadaran agung,
Chakrasamvara


Paman sudah mati, dan aku
tak ingin mengenangnya.

Tak ingin terjebak dalam gelap
kenangan itu. Penjara pengap
penuh coret dan hitungan akan
waktu.

Karenanya aku nyalakan 101
lampu lemak yak. Tidak. Aku
tidak pernah takut Paman datang
dengan muka cemberut dalam
mimpiku.

Aku hanya tak ingin kegelisahan
jadi tuhan (dalam Genesis, Ia berjalan
di taman sambil berteriak pada
Adam dan Hawa dalam semak
).

Tak perlu ada ziarah. Paman sudah
mati, dan aku tak sedang ingin
menyapanya.

Aku nyalakan 101 lampu lemak yak
bagi perjalananku ke Shangri-La (di
sana, tak ada paman atau kenangan
akan dia).

Meski aku tahu, cahaya dari 101
lampu lemak itu tak bakal sampai
di kaki Kun Lun.


Kau Mati, Hidup Kembali,
dalam Doa Kami.


Tenang. Aku akan berdoa,
meski tak tahu: arwahmu
sedang berjalan di Hunza
atau sampai di Sinchuan.

Dan setelah dikremasi,
abumu hendak kubawa
dalam sebuah ziarah.

Meski kenangan akanmu
sering membuat aku tertawa
sendiri.

Tapi itu sebelum kulihat
uap tipis melayang
sedikit di atas secarik sutra.


Berdoa Lebih Sering
Seperti Terbakarnya Hutan Pinus


Selagi hidup, kata Paman,
jangan putus hubungan
pertemanan.

Namun Paman sudah mati,
dan kau tak ada lagi.

Aku lebih sering melamun
sesering halimun turun
di hutan pinus.

Hanya godaan membuatku
merasa -- ada satu tempat
di mana segala gerak dan
istirahat bisa saling bermufakat.

Kau, bukan lagi kau dan Paman
sudah mati. Aku hanya diri yang
belum sepenuhnya mengerti.

Seperti saat hutan pinus itu
terbakar, yang aku tak pahami --
antara kabut asap dan halimun
embun, mengapa keduanya

bisa berwarna putih?

Pesan dari Bardo


Kematian Paman seperti
mekar kuntum memori yang
sadar dan tepat waktunya.

Dunia adalah jambangan
besar abu sisa kremasi.

Pada dindingnya, aku melihat
masa lalu, kini, dan nanti saling
menutupi diri seperti bulu-bulu
gagak. Hitam dan tegas.

Tujuh hari nanti, dalam sebuah
ziarah, isinya akan ditumpah.

Lalu kita pulang ke rumah
masing-masing dengan perasaan
lega. Seperti habis-habisan berlaga

dan menang. Hanya pesan
dari Bardo akan terngiang,

"Masa sulit hanya slilit. Kau tinggal
putuskan -- mencongkelnya atau
terus-terusan dongkol."




2018

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung