Hoaks dalam Sastra


Bisa jadi, ketika Sergey Brin dan Larry Page bersama menciptakan mesin pencari Google dari kamar asramanya di California belum terpikirkan, betapa berjuta-juta informasi yang bisa didapatkan dengan mudah baik oleh siapa saja di dunia ini melalui gawai sekarang ini, banyak juga yang bersifat nir-fakta. Hoaks1), salah satunya. Dalam kamus etimologi, hoaks dinyatakan erat kaitannya dengan hocus-pocus, atau hocus pocas, nama yang biasa disematkan pada penghibur dalam seni pertunjukan, sehingga dalam hoaks ada dua unsur yang bisa disampaikan, yaitu sesuatu yang bersifat candaan atau olok-olok, dan lainnya adalah hal-hal yang tidak mengandung nilai kebenaran.

Pada perkembangannya, hoaks dimaksudkan agar ada orang yang percaya apa yang ia terima itu adalah hal yang asli atau nyata, meskipun sebenarnya palsu. Dan supaya orang mudah untuk percaya, maka hoaks biasanya akan diembuskan pada masyarakat secara terus menerus. Seperti pernah dikatakan oleh Adolf Hitler2):
“Kebohongan yang dikatakan terus menerus pada akhirnya akan diterima sebagai kebenaran”.
Kaitannya dengan era informatika digital, hoaks menjadi konten yang harus terus ada sehingga hoaks adalah informasi yang terus diunggah ke dunia maya. Sejak munculnya komentar dari suatu berita dari akun-akun tanpa nama, maka anonymous seolah menjadi pintu bahwa sumber tak dikenal bisa dijadikan acuan dalam hal pemberitaan. Dan pergeseran yang terjadi dari sekadar informan, akun-akun tanpa nama (dalam hal ini meski punya nama tetapi bukan akun yang mewakili orang secara pribadi) tumbuh menjadi pabrik dan reseller dari berita-berita hoaks.

Dalam sejarah sastra, hoaks yang dianggap paling awal dicatat adalah penulisan jurnal perang Troya oleh Lucius Septimius. Tulisan itu dianggap penting karena dinyatakan ditulis oleh seorang pahlawan bernama Dyctis Cretensis dan jurnal ini ditemukan di dalam makamnya, seribu tahun setelah kematiannya3).

Hoaks lainnya adalah ketika Thomas Chatterton, penyair yang di kemudian dianggap sebagai pelopor puisi-puisi Gothik, pada saat berumur sekitar 12 tahun mengumumkan kepada khalayak bahwa ia mempunyai naskah puisi dari seorang biarawan abad ke-15 bernama Thomas Rowley. Pada akhirnya, setelah Chatterton meninggal, kolega dan muridnya mengetahui bahwa karya-karya puisi yang sempat memengaruhi gaya berpuisi yang disebut puisi Rowleian itu adalah karya dari Chatterton sendiri4).

Kebohongan atau hoaks di dalam sastra meliputi banyak hal di antaranya satire yang diselewengkan maknanya (dianggap sebagai fakta), penipuan langsung, naskah yang disalahgunakan, karya-karya misterius seperti Injil Barnabas, Manuskrip Voynich, yang diragukan kebenarannya meski setelah penelitian lebih lanjut dianggap palsu.
Unsur yang utama dari kebohongan dalam sastra adalah keinginan untuk menonjol dari seseorang.
Beberapa hoaks dalam sastra yang terkenal antara lain:
  1. Predictions for the Year 17085), sebuah pamflet yang seolah ditulis oleh astrolog bernama Isaac Bickerstaff yang meramalkan seorang astrolog lainnya bernama John Patridge akibat demam pada tanggal 29 Maret 1708. Penulis sebenarnya adalah Jonathan Swift.
  2. Puisi Epik Ossian6) yang ditulis oleh James McPherson pada tahun 1765 dianggap sebagai puisi abad ke-3 dari bangsa Galia dan sukses luar biasa diterjemahkan dalam beragam bahasa. Bahkan Goethe mengutip puisi ini untuk dimasukkan ke dalam karyanya The Sorrows of Young Werther. Puisi ini bahkan menginspirasi kaum Romantik. Diduga, James McPherson menggunakan puisi balada dan sastra lisan bangsa Skotlandia.
  3. The Ballon Hoax7), adalah artikel yang ditulis oleh Edgar Allan Poe di The New York Sun tahun 1884 yang mengisahkan penyeberangan Trans Atlantik menggunakan balon udara yang dilakukan oleh Monck Mason (tokoh rekaan yang diadaptasi dari pengendara balon udara bernama Thomas Monck Mason). Artikel ini ditulis sebagai “jawaban” dari sebuah artikel yang dimuat oleh koran yang sama sembilan tahun sebelumnya yang berjudul Great Moon yang menceritakan pengamatan astronom John Herschel terhadap makhluk humanoid bersayap di bulan. Artikel Poe ini juga mengilhami karya Jules Verne, Around the World in 80 Days yang menceritakan perjalanan mengelilingi bumi mengendarai balon udara8).
  4. Autobiography of Howard Hughes9) yang ditulis oleh Clifford Irving dan Richard Suskin tahun 1970 adalah hoaks yang sempat menimbulkan kegemparan di Amerika Serikat dan membuat Howard Hughes yang sejak tahun 1950 tidak menampakkan diri ke publik harus menyelenggarakan sebuah konfrensi press. Irving lantas dihukum 17 bulan. Kisah Irving sempat difilmkan oleh Orson Welles dengan judul F for Fake! Sedangkan penuturan Irving mengenai kasus ini dibukukan dengan judul The Hoax (1981) dan difilmkan dengan Richard Gere sebagai bintangnya.
  5. A Million Little Pieces, memoar James Frey (2003) yang ketika berumur 23 tahun menderita gangguan alkoholik dan pecandu obat-obatan. Dalam bukunya ini, ia menceritakan perawatan pada sebuah klinik rehabilitasi yang menggunakan dua belas langkah untuk mengatasi kecanduan. Buku ini sempat menjadi pembicaraan nasional di Amerika karena masuk dalam buku yang harus dibaca versi Oprah Winfrey (2007)10). Setelah mendapati banyak hal yang tidak pernah terjadi dan sesuai dengan apa yang disampaikan, buku ini lantas dijual sebagai novel semi biografi.
Yang menarik ketika James Frey ditanya alasannya mengubah kisah hidupnya di dalam buku itu, Frey menjawab, “Saya ingin cerita-cerita di buku itu surut dan mengalir, memiliki lengkungan dramatis, memiliki ketegangan yang dibutuhkan oleh semua cerita hebat."
Hal ini menunjukkan bahwa ego di dalam diri seseorang agar ia menonjol dalam kerumunan penulis lainnya cenderung akan mengakibatkan seseorang “menghalalkan segala cara.”
Di sisi lain, pembaca dan khalayak dalam dunia sastra bukanlah melulu orang yang wawasannya terbatas. Karena itu, kemunculan sesuatu yang tidak semestinya lambat laun akan mendapatkan pertentangan. Baik dari pembaca ataupun dari sesama penulis, belum lagi dari pihak-pihak yang terkait seperti penerbit.

Meskipun tidak ada pihak pemerintah yang berwenang untuk meneliti dan mengesahkan buku-buku yang beredar di masyarakat, seperti dalam kasus James Frey, penerbit adalah pihak yang sangat bertanggung jawab terhadap buku-buku terbitannya. Desakan publik, akhirnya membuat Doubleday dan Anchor Book, penerbit A Million Little Pieces, harus menyertakan catatan penerbitan dan catatan penulisan yang menyatakan beberapa bagian didramatisasi dan bukan kejadian sebenarnya.

Tanggung jawab penerbit yang besar seperti ini yang sangat diharapkan agar publik bisa memilih buku-buku yang tidak mengandung dan atau menyebarkan hoaks. Namun tentu itu belum bisa diharapkan terjadi di Indonesia mengingat banyaknya penerbit indie dan penerbitan pribadi atas pesanan pembaca.

Contoh buku yang menyebarkan hoaks dan membuat penulisnya ditangkap dan dipenjarakan di Indonesia yang terjadi baru-baru lalu adalah buku Jokowi Undercover: Melacak Jejak Sang Pemalsu Jati Diri yang ditulis oleh Bambang Tri11). Buku ini berbeda dengan buku berjudul nyaris sama yaitu Jokowi Undercover yang ditulis oleh Sunardian Wirodono. Namun kesamaan dari kedua buku ini adalah sama-sama hanya bisa dipesan dan dibeli pada penulisnya saja, dan tidak tersedia di toko-toko buku.

Hal ini menunjukkan bahwa informasi baik yang benar maupun hoaks dalam sastra di Indonesia itu begitu mudah disebarkan. Bisa melalui blog, media sosial, dan kelompok-kelompok pada beberapa layanan messenger. Dan seperti disinggung di atas, informasi, termasuk hoaks mudah dijejalkan ke dunia maya dan akan mudah pula diakses oleh siapa saja dan di mana saja berkat adanya mesin pencari seperti Google itu.
Pertanyaan yang harus kita pikirkan sekarang adalah, “Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kebenaran tulisan yang dibuat seseorang?”

Perlunya Bersikap Kritis dan Literasi

Di sinilah sikap kritis pembaca dan juga wawasan literasi yang cukup berperan dalam perkembangan atau menurunnya aliran hoaks (utamanya dalam sastra). Sikap kritis yang dibangun paling tidak membuat kita lebih selektif untuk memilih dan memilah informasi apa yang harus kita percayai, dan jika perlu disebarkan. Sikap kritis itu juga akan membentengi kita untuk tidak cepat-cepat menyebarkan satu informasi yang belum tentu benar.

Cara lain adalah dengan memperkaya wawasan kita. Caranya dengan rajin membaca dan memperbanyak bacaan. Sering-sering pergi ke toko buku adalah cara paling ampuh untuk memupuk minat baca, sebab pada dasarnya manusia itu selalu penuh dengan rasa ingin tahu. Biasanya, di toko buku terdapat buku yang cukup up to date dengan isu-isu terbaru yang berkembang di masyarakat. Hal ini karena para penulis juga tidak mau ketinggalan momentum atau tren.

Menggali pengetahuan yang cukup dalam untuk bisa menghadapi informasi yang salah memang bukan tugas semua orang. Akan tetapi membekali diri agar tidak terjebak dalam informasi yang salah tentu bukan hal merugikan bagi hidup kita. Apalagi jika kita berpikir tentang masa depan. Barangkali informasi itu bakal bertahan lebih lama daripada hidup kita, maka ada cukup waktu bagi kita untuk meneruskan wawasan yang kita dapatkan itu untuk anak kita nanti.

Ada banyak situs yang menyediakan file *.pdf buku-buku teks dan lain-lain12). Belum lagi, sesuai dengan perkembangan teknologi mesin pencarian, aneka macam jurnal ilmiah juga bisa ditemukan. Ada yang berbayar, ada yang gratis untuk diunduh. Untuk yang gratis, biasanya kita diminta mendaftar sebelum bisa mengunduhnya. Artinya, kita bisa tidak pernah kehilangan sumber untuk menambah wawasan kita yang diperlukan untuk menangkal hoaks.

Menangkal hoaks adalah menangkal informasi yang salah dan meneruskan informasi yang benar pada generasi berikutnya. Hal ini karena sifat unggahan di dunia internet bersifat abadi. Kecuali penyelenggara situs pencarian itu bangkrut atau rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Informasi yang salah akan menumbuhkan generasi yang berpikirnya keliru juga. Lihat saja di seluruh dunia masih ada yang berpikir bahwa vaksinasi adalah hal yang tidak berguna dan hanya menguntungkan penjual vaksin saja, misalnya.

Friksi dan Polemik

Memang pastinya akan terjadi sebuah perselisihan jika antara yang anti dan yang pro terhadap isu yang diusung dalam sebuah informasi itu bertemu atau berdialog. Friksi, atau ketegangan antar pendukung dapat kita lihat dengan beragamnya meme yang beredar, tulisan atau opini pada media sosial, bahkan kita bisa lihat banyak pula bertumbuh media digital, situs, atau blog yang memang dibuat untuk mendukung suatu opini tertentu.

Fenomena berbalas tulisan atau paling tidak status di media sosial, atau perang cuitan di twitter, dilakukan oleh banyak pihak menggantikan polemik yang dulu dilakukan dengan menulis opini pada surat kabar atau media massa lainnya. Yang melakukan polemik pun bergeser, kalau dulu para politisi, sekarang bisa dari public figure, sampai pada mereka yang bisa digolongkan sebagai anonymous. Lebih dari itu, dari mereka memang ada yang memang bertindak sebagai penyalur kembali informasi yang tergolong hoaks, sehingga yang mereka lakukan adalah mengomentari opini orang lain dengan hoaks lainnya lagi.

Pada abad pertengahan, polemik yang berkenaan dengan sastra juga terkait erat dengan agama. Hal ini seperti perdebatan antara Yahudi dan Kristen di Yunani yang seperti tulisan Rabbi Tarfon, Dialog dengan Trypho yang ditulis Justin Martyr, dialog antara Jason dan Papiscus, sampai pada hal yang mengubah kekristenan di seluruh dunia adalah 95 Tesis dari Martin Luther.

Perkembangan selanjutnya, polemik bersangkut paut dengan politik dan ideologi seperti A Modest Proposal13), pamflet yang ditulis oleh Jonathan Swift. Bahkan karya Karl Marx dan Frederich Engel tahun 1848 yaitu Manifesto Komunis juga masuk pada bahasan polemik. Tantangan terhadap praktik totaliterian Stalin, ditulis dengan baik oleh George Orwell dalam karya novelnya Animal Farm.14)
Polemik-polemik di dunia sastra Indonesia15) sendiri, yang bisa dicatat antara lain;
  1. Polemik Sastra Pujangga Baru, antara Sanusi Pane yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia harus berasal dari khazanah kebudayaan lokal pra-Indonesia dengan Sutan Takdir yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan yang sama sekali baru, terpisah dari tradisi lama; dan harus mampu membangun bangsa. Sutan Takdir memberikan tolak ukur utama: Barat,
  2. Polemik yang terjadi antara Lekra yang tidak setuju dengan pandangan “seni untuk seni” dengan Manifesto Kebudayaan,
  3. Polemik antara polemik kritik sastra antara golongan pengikut kritik sastra Ganzheit dan pengikut kritik sastra akademik pada tahun 1968,
  4. Polemik sastra konstekstual16) di tahun 1985,
  5. Polemik sastra cyber dan sastra koran17) di sekitar tahun 2000,
  6. Polemik sastra wangi18) sekitar tahun 2015,
dan yang cukup baru adalah polemik diangkatnya Denny JA sebagai tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada tahun 2014.

Meskipun dalam tulisannya di blog atau statusnya di media sosial, Denny JA selalu berkata bahwa dimasukkan namanya ke dalam buku itu berdasarkan pendapat dari pihak lain, yaitu Tim 8 yang terdiri dari Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Alasan mengapa Denny JA masuk ke dalam 33 tokoh sastra Indonesia itu menurut Ahmad Gaus yang menuliskan biodata Denny JA dalam buku tersebut adalah,”Karya puisinya, yaitu puisi esai yang berjudul Atas Nama Cinta yang dipublikasikan melalui sebuah website di tahun 2012 telah dibaca oleh hampir 8 juta orang.” Dan, tidak sekadar polemik atau kritik, buku tersebut pun mendapat petisi agar dihentikan peredarannya19).

Polemik Puisi Esai

Hampir lima tahun setelah polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu, tahun ini kembali nama Denny JA disebut-sebut karena menggagas Gerakan Puisi Esai Nasional yang melibatkan 170 penyair dari 34 provinsi di seluruh Indonesia. Namun, sampai tulisan ini diturunkan, sudah sepuluh penyair yang sudah mendapatkan honor ataupun uang muka karena mau menuliskan puisi esai itu menyatakan mundur dari kegiatan tersebut dengan berbagai alasan.

Polemik mengenai gerakan ini juga mendapat petisi dari mereka yang mengatasnamakan Penyair Muda Indonesia yang sampai ini sudah lebih dari tiga ribu orang menandatangani petisi tersebut20). Kemudian ada juga pihak yang mengatasnamakan Aliansi Sastrawan Indonesia AntiPuisi-Esai21) yang menolak gerakan itu, bahkan meminta Badan Bahasa untuk menyelidiki pegawainya yang terlibat dalam gerakan tersebut.

Meskipun Badan Bahasa menyatakan diri netral dalam polemik ini, namun Kepala Balai Bahasa Jawa Barat, Sutejo, juga Drs. M. Abdul Khak, M. Hum., selaku Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menyatakan bersedia memfasilitas dialog antara Denny JA dengan mereka yang menentang gerakan itu. Sayangnya, Denny JA melalui tulisannya menyatakan tidak bersedia hadir dalam dialog yang akan difasilitasi Badan Bahasa tersebut karena merasa bahwa gagasannya telah hadir sejak awal polemik itu lahir22).

Jika mencermati perjalanan puisi-esai yang diklaim oleh Denny JA sebagai temuannya, dan didukung dengan pernyataan-pernyataan soal penemuan genre baru puisi Indonesia dalam buku Atas Nama Cinta itu, klaim penemuan itu yang seharusnya bisa dijawab dengan lebih baik oleh Denny JA. Karena secara nama, puisi esai sudah ada sejak abad ke-8 23). Belum lagi rumusan penggabungan puisi dan esai sudah banyak digagas oleh orang lain baik yang disebut poetical essay, lyric essay, atau verse essay.

Klaim kebaruan memang sangat potensial untuk dianggap sebagai hoaks, seperti halnya klaim penemuan naskah kuno atau naskah berbahasa aneh seperti Manuskrip Voynich yang diterbitkan ulang dengan dieditori Raymond Clemens dan didukung kata pengantar dari Deborah Harkness tahun 2016 lalu24).
Untuk menyatakan sesuatu itu baru, perbandingan dengan hal-hal yang sudah lama perlu dihadirkan, sedangkan pada Atas Nama Cinta, Denny JA tak pernah sekalipun menghadirkan bentuk-bentuk puisi-esai yang sudah ada.
Sepanjang tidak pernah ada penjelasan yang dapat diterima khalayak akan klaim kebaruan dari temuannya itu, polemik puisi esai Denny JA sepertinya akan terus berlanjut. Itu pun jika apa yang disebut sebagai puisi-esai itu mampu bertahan dalam kancah sastra Indonesia. Barangkali, puisi-esai itu bisa seperti sastra berbahasa daerah yang selalu tumbuh berdampingan dengan arus utama sastra berbahasa Indonesia. Bahkan ada penghargaan Rancage yang khusus untuk sastra berbahasa daerah itu (Sunda). Bisa juga puisi-esai itu akan punah seperti halnya puisi Mbeling yang dulu sempat bergairah di sekitar tahun 1970 karena dalam rentang waktu lima tahun belakangan, puisi-esai bisa bertahan karena kiprah Denny JA sendiri.

Fenomena Puisi Spektra

Di tahun 1916, terbit sebuah buku berjudul Spectra: A Book of Poetic Experiments25). Buku ini ditulis oleh Witter Bynner dan Arthur Davison Ficke, tapi pada buku itu mereka menulis Emannuel Morgan dan Anne Kish sebagai penulisnya.

Dalam buku itu, mereka mengeluarkan satire untuk puisi imajis. Dalam bahasa sederhana, puisi-puisi itu adalah permainan belaka. Penerbitnya pun sebenarnya merasa tertipu setelah tahu maksud dari kedua penyair itu. Namun ia membiarkan saja buku itu terbit, karena berharap bahwa itu akan laris. Dan dugaan itu benar, bahkan puisi spectrism ini diterima sebagai sebuah gerakan puisi yang diakui.

Tahun 1918, Bynner mengumumkan bahwa buku yang ia tulis bersama Ficke adalah sebuah hoaks. Baik Bynner maupun Ficke, pada saat itu adalah penyair yang sudah dikenal. Mereka mengakui bahwa gurauan mereka itu sedikit banyak merugikan bagi mereka sendiri akhirnya. Seperti nama mereka akan selalu dikaitkan dengan Spectra. Meski begitu, lucunya, Ficke merasa begitu mudah belajar mengenai komposisi saat ia “menjadi” Kish.

Agaknya memang hoaks adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa benar-benar dihindarkan dalam hidup kita. Karena itu, yang utama adalah bagaimana kita bisa memilih dan memilah informasi yang hendak kita serap. Dan cara terbaik untuk menghindari hoaks hanyalah dengan memperluas wawasan utamanya dengan banyak membaca.(*)


Catatan:
  1. http://hoaxes.org/origin.html
  2. https://endtimesprophecyreport.com/2014/09/05/propaganda-the-big-lie-and-adolf-hitler-20-hitler-quotes-on-propaganda/
  3. http://www.theoi.com/Text/DictysCretensis1.html
  4. Lynch, Jack. 2008. Deception and Detection in Eighteenth-Century Britain. United Kingdom. Routledge.
  5. http://www.public-library.uk/ebooks/09/13.pdf
  6. https://www.exclassics.com/ossian/ossian.pdf
  7. https://poestories.com/read/balloonhoax
  8. https://ebooks.gramedia.com/id/buku/80-hari-keliling-dunia
  9. Irving, Clifford. 1982. Howard Hughes: My Story. United States of America. Blake Publishing.
  10. http://www.oprah.com/book/a-million-little-pieces-by-james-frey?editors_pick_id=26790
  11. https://tirto.id/bambang-tri-penulis-buku-jokowi-undercover-ditahan-cdAc
  12. www.bookfi.net
  13. http://www.readwritethink.org/files/resources/30827_modestproposal.pdf
  14. Orwell, George. Terjemahan: Bakdi Soemanto. 2016. Animal Farm. Mizan.
  15. Semboja, Asep. 2008. Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008). Dalam Anwar Efendi (Ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara wacana.
  16. Heryanto. Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta. CV Rajawali.
  17. Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta. Jendela
  18. http://matatimoer.or.id/2016/04/07/sastra-wangi-kontestasi-wacana-dalam-sastra-populer/
  19. https://muhidindahlan.radiobuku.com/2017/05/23/17-tonggak-heboh-buku-33-tips-meresensi-buku-di-abad-21/
  20. https://www.change.org/p/kementerian-pendidikan-dan-kebudayaan-indonesia-petisi-menolak-program-penulisan-buku-puisi-esai-nasional-denny-j-a
  21. http://konfrontasi.com/content/budaya/aliansi-sastrawan-tolak-proyek-puisi-esai-denny-ja
  22. https://www.harianhaluan.com/news/detail/68592/badan-bahasa-fasilitasi-polemik-puisi-esai-denny-ja-tak-mau-hadir
  23. http://www.eighteenthcenturypoetry.org/works/o4986-w0150.shtml
  24. Clemens, Raymond. 2016. The Voynich Manuscript. With an Introduction by Deborah Harkness. London. Yale University Press.
  25. Smith, William Jay. 2000. The Spectra Hoax: The Poetry Deception of The Century. Story Line Press.

sumber: jurnalruang

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung