39A, iPad, dan KTP
39A adalah nomor kursi penerbangan Surabaya - Jakarta yang tertera di tiket saya. Tetapi rupanya, begitu saya sampai pada bagian ekor pesawat tersebut, kursi bernomor 39A itu sudah diduduki oleh orang lain.
Tentu saja, saya bertanya kepada bapak yang menempati kursi itu apakah nomor kursi yang didudukinya benar-benar nomor kursi yang tertera pada tiketnya atau bukan. Bertahun lalu saya pernah mengalami kejadian yang sama yang entah kenapa bisa terjadi nomor kursi yang spesifik itu berada pada dua lembar tiket yang berbeda.
Tetapi kali ini saya yakin bahwa kejadian semacam itu tak akan pernah terjadi lagi sehingga saya tetap ngotot bahwa nomor kursi 39A adalah jatah duduk saya pada penerbangan malam itu. Bapak yang menempati kursi tersebut tidak menjawab pertanyaan saya. Bahkan dua orang bapak-bapak lain menyarankan agar saya menghubungi pramugari untuk menyelesaikan "sengketa kursi" itu.
Beberapa saat kemudian, setelah saya bergerak ke arah pramugari, bapak yang menempati kursi itu pun beranjak tanpa mengucapkan kata maaf atau apalah untuk mengekspresikan kesalahan yang dilakukannya. Dia berdiri, melewati saya, lalu duduk di kursi yang nomornya tertera pada tiketnya.
Tak lama setelah saya duduk pada kursi "hasil perebutan kekuasaan" itu, dia kembali berdiri lalu mengatakan pada saya untuk mengambilkan "barangnya" yang tertinggal pada kantung belakang kursi di depan saya. Ternyata barang yang tertinggal adalah sebuah komputer tablet yang namanya terkenal itu: iPad.
Melihat hal itu, saya kembali dilanda heran dengan tingkah bapak itu. Pertama, dia tidak meminta maaf atas kekeliruannya yang menyebabkan saya harus berdiri cukup lama untuk mendapatkan kursi yang menjadi hak saya. Kedua, dia yang memiliki gadget semacam iPad itu ternyata kurang mawas pada hal-hal kecil tetapi cukup penting seperti nomor kursi pada tiket itu. Atau jangan-jangan seperti pendapat awam bahwa banyak orang di Indonesia yang gagah-gagahan saja mempunyai aneka gadget mutakhir. Seperti seorang kolega di kantor yang ditanya kelebihan iPhone 4S yang baru dimilikinya itu dengan menjawab "Yang jelas hasil kameranya sangat bagus."
Yang jelas, penerbangan malam itu membuat saya menyesal kenapa bisa terlambat check in di bandara sehingga harus mengalami kejadian seperti yang saya ceritakan di atas, terlebih - suatu keteledoran yang sangat parah - KTP saya raib entah ke mana karena harus berlari-lari di sepanjang koridor bandara. Meskipun sebenarnya perhitungan saya sudah tepat: selesai acara pukul 6 sore langsung pergi ke bandara dan sampai di sana pukul 7, yang meskipun memang terlambat tetapi tidak harus berlari-lari sampai tidak memperhatikan apakah KTP sudah masuk ke dalam dompet, atau tertinggal di meja check in, atau terjatuh dari saku tas atau celana.
Usut punya usut, adanya kecelakaan jalan raya yang mengakibatkan sebuah truk terguling di jalan tol mengakibatkan taksi yang dipesan oleh ibu mertua saya terlambat 30 menit lebih untuk sampai ke rumahnya. Karena taksi itu terlambat, maka perjalanan ke bandara juga terlambat. Karena ibu mertua terlambat, walaupun saya sudah check in, saya harus menungguinya masuk ke bandara, check in, dan masuk ruang tunggu. Ini semacam butterfly effect yang ujung-ujungnya besok pagi saya harus pergi ke kantor polisi membuat surat kehilangan dan mengurus KTP baru, karena beberapa hari lagi saya harus pergi lagi dengan pesawat.
Jakarta, Februari 2012
Tentu saja, saya bertanya kepada bapak yang menempati kursi itu apakah nomor kursi yang didudukinya benar-benar nomor kursi yang tertera pada tiketnya atau bukan. Bertahun lalu saya pernah mengalami kejadian yang sama yang entah kenapa bisa terjadi nomor kursi yang spesifik itu berada pada dua lembar tiket yang berbeda.
Tetapi kali ini saya yakin bahwa kejadian semacam itu tak akan pernah terjadi lagi sehingga saya tetap ngotot bahwa nomor kursi 39A adalah jatah duduk saya pada penerbangan malam itu. Bapak yang menempati kursi tersebut tidak menjawab pertanyaan saya. Bahkan dua orang bapak-bapak lain menyarankan agar saya menghubungi pramugari untuk menyelesaikan "sengketa kursi" itu.
Beberapa saat kemudian, setelah saya bergerak ke arah pramugari, bapak yang menempati kursi itu pun beranjak tanpa mengucapkan kata maaf atau apalah untuk mengekspresikan kesalahan yang dilakukannya. Dia berdiri, melewati saya, lalu duduk di kursi yang nomornya tertera pada tiketnya.
Tak lama setelah saya duduk pada kursi "hasil perebutan kekuasaan" itu, dia kembali berdiri lalu mengatakan pada saya untuk mengambilkan "barangnya" yang tertinggal pada kantung belakang kursi di depan saya. Ternyata barang yang tertinggal adalah sebuah komputer tablet yang namanya terkenal itu: iPad.
Melihat hal itu, saya kembali dilanda heran dengan tingkah bapak itu. Pertama, dia tidak meminta maaf atas kekeliruannya yang menyebabkan saya harus berdiri cukup lama untuk mendapatkan kursi yang menjadi hak saya. Kedua, dia yang memiliki gadget semacam iPad itu ternyata kurang mawas pada hal-hal kecil tetapi cukup penting seperti nomor kursi pada tiket itu. Atau jangan-jangan seperti pendapat awam bahwa banyak orang di Indonesia yang gagah-gagahan saja mempunyai aneka gadget mutakhir. Seperti seorang kolega di kantor yang ditanya kelebihan iPhone 4S yang baru dimilikinya itu dengan menjawab "Yang jelas hasil kameranya sangat bagus."
Yang jelas, penerbangan malam itu membuat saya menyesal kenapa bisa terlambat check in di bandara sehingga harus mengalami kejadian seperti yang saya ceritakan di atas, terlebih - suatu keteledoran yang sangat parah - KTP saya raib entah ke mana karena harus berlari-lari di sepanjang koridor bandara. Meskipun sebenarnya perhitungan saya sudah tepat: selesai acara pukul 6 sore langsung pergi ke bandara dan sampai di sana pukul 7, yang meskipun memang terlambat tetapi tidak harus berlari-lari sampai tidak memperhatikan apakah KTP sudah masuk ke dalam dompet, atau tertinggal di meja check in, atau terjatuh dari saku tas atau celana.
Usut punya usut, adanya kecelakaan jalan raya yang mengakibatkan sebuah truk terguling di jalan tol mengakibatkan taksi yang dipesan oleh ibu mertua saya terlambat 30 menit lebih untuk sampai ke rumahnya. Karena taksi itu terlambat, maka perjalanan ke bandara juga terlambat. Karena ibu mertua terlambat, walaupun saya sudah check in, saya harus menungguinya masuk ke bandara, check in, dan masuk ruang tunggu. Ini semacam butterfly effect yang ujung-ujungnya besok pagi saya harus pergi ke kantor polisi membuat surat kehilangan dan mengurus KTP baru, karena beberapa hari lagi saya harus pergi lagi dengan pesawat.
Jakarta, Februari 2012
Comments