Panggilan

Panggilan



Mengapa di mulutmu terselip namaku?

Mengapa aku harus menoleh dari rumput
ke sayap kupu-kupu yang gemetar itu?
Betapa malang nasib angin pada helai
yang terkulai. Ia membangkitkan putus
asa belaka. Sia-sia mendorong batu
lalu menggulirkannya kembali.

Tak akan jadi bisik – “Siapa bilang
begitu, bahkan dengan memakan
buah pohon ini, kalian justru bisa
menjadi Tuhan."

Baik akan kuperhatikan yang bergelora
dalam cahaya. Helai-helai suara penuh
warna. Supaya tak tertipu untuk kali kedua.

Cukup sudah seribu babi dirasuk arwah
lalu terjun dari tubir seakan berebut butir
mutiara. Cukup sudah dari atas bukit dua
belah batu bertulis dipecah karena segala

doa disebut untuk sebentuk lembu.
Mengapa telingaku bagai biri-biri
mengenali suara gembala yang lari
mencari seekor yang terhilang dari
kumpulannya? Mengapa merasa

sudah dipilih dari selaksa yang bakal
rebah di sisi kanan? Merasa sebagai
seorang ibu dari Gerika yang tak lagi
malu dihardik bagai anjing hendak
menjarah remah-remah roti di bawah
meja. Biarlah. Biarlah. Sebab hanya
dengan menyentuh jubah, aku menjadi

sembuh. Begitu lumpur dan ludah kucuci
di kolam Betsaida maka langit terbuka
dan kudengar lagi suara – Anakku!

2019

Comments

Popular posts from this blog

Kunang kunang

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung