Menyerahkan Keakuan untuk Menjernihkan Keadaan

 Menyerahkan Keakuan untuk Menjernihkan Keadaan


Di sana di di gurun aku mati terbaring
Sampai suara dari langit berdenging:
“Bangkit O Nabi! Kehendak-Ku kerjakanlah,
Kau kini telah menerima dan mendengarnya.
Di darat dan di laut tanggunganmu penuh
Dan membakar hati manusia dengan kalam-Ku.”
(Sang Nabi, Alexander Pushkin)
Dalam puisi Sang Nabi, karya Alexander Pushkin itu, disebutkan pada akhirnya nabi itu akan mati. Menihilkan diri. Menjadikan (kehendak) Tuhan yang menjadi. Seperti apapun kondisi yang menjadi latar kenapa zaman perlu disuarakan. Namun, peranan nabi itu tidak berhenti, meski ia sudah mati. Ia akan terus disebut dan diseret dalam pemikiran mereka yang membaca dan mengalami zaman (dan karya kenabiannya) itu. Sebutlah, semisal saat ini kita tengah menghadapi pagebluk, kita pasti teringat akan ketabahan Ayub. Tokoh dalam alkitab itu mengalami kenahasan luar biasa. Anak-anaknya baik laki-laki dan perempuan mati mendadak. Demikian pula ternak dan ladangnya pun hancur musnah. Ketabahan semacam itu, diperlukan sekali dalam menghadapi pandemi covid-19 yang tanda-tandanya belum akan mereda.
Perjalanan hidup nabi dibentuk tidak semata-mata karena responnya terhadap keadaan, melainkan karena ia dalam kurun waktu tertentu dalam hidupnya menjalankan rencana dan kehendak Tuhan. Dalam kisah Ayub, respon manusia bisa didapati dari perkataan-perkataan sahabat-sahabat Ayub yang melipur laranya, bahkan hal tersebut sempat memengaruhi pemikiran Ayub untuk melakukan protes kepada Sang Pencipta, meskipun kemudian ia sadar bahwa itu salah dan mengusir sahabatnya. Respon semacam ini, tentu tidak diharapkan muncul jika berkaitan dengan rencana dan kehendak Tuhan. Tetapi, hal itu sungguhlah manusiawi.
Membaca Nabi Baru, buku kumpulan puisi Triyanto Triwikromo yang diterbitkan oleh Diva Press, sebaliknya, justru membuat kita merasa memang benar, harus ada respon yang sangat manusiawi ketika menghadapi kondisi zaman yang luar biasa seperti sekarang ini. Khususnya, perkara-perkara njelimet yang berkelindan di negeri Indonesia ini; korupsi yang tak kunjung berhenti, nepotisme yang melahirkan oligarki kekuasaan baik politik maupun ekonomi, kehancuran alam akibat tangan-tangan manusia, kemiskinan yang tak teratasi bahkan makin parah akibat krisis berkenaan dengan pandemi ini, dan lain-lainnya. Kesemrawutan ini disikapi menjadi desakan dan harapan akan munculnya seorang pembebas, Juru Selamat, atau seperti yang disinggung dengan buku puisi ini, Nabi Baru.
Persoalannya kemudian adalah; apa yang hendak disampaikan jika memang ada Nabi Baru itu? Apakah ia akan menyeret kembali Tuhan ke dalam kiprahnya memberi wejangan, tuntunan, dan perintah. Bukankah Tuhan juga sudah sering dibawa-bawa oleh orang-orang lain ketika mereka membuat alasan atas perilaku mereka menganggap rendah orang lain? Ketegangan dan kegamangan semacam ini muncul juga dalam puisi-puisi Triyanto Triwikromo kali ini, seperti dalam puisi “aku lahir dari hujan” yang hanya satu bait saja berbunyi; aku lahir dari hujan dan kau tak berada di rahim siapapun, tiba-tiba badai datang dan kau bilang, “akulah cahaya!” Aku lirik di sini muncul sebagai kehendak atau respon dari keadaan, dan ia menyakini bahwa ia masih perlu oknum lain yang memberinya petunjuk. Dengan ini, penyair menyadari bahwa selain keadaan, respon, masih memerlukan juga petunjuk. Yang bahkan dalam puisi yang tepat menyusul puisi tadi, disebutkan; aku perlu kitab,” kataku.
Selanjutnya, seperti dalam kisah para nabi, Triyanto juga mengetengahkan dialog intim dengan tujuan mengenal lebih dalam dua belah pihak yaitu aku dan siapa yang disebut oleh aku sebagai kau. Kemudian, mengedepankan kehendak-kehendak yang sepatutnya dipersatukan untuk menghadapi zaman ini. Meski pada akhirnya ada ketidakmampuan yang mengada, seperti tertulis dalam puisi berjudul “lahir kembali” yang menyebutkan; …, makin aku merumuskanmu sebagai sesuatu, kau semakin luput kumaknai sebagai sesuatu. Bahkan bukannya makin menyatu, antara aku dan kau pun lantas terjatuh kembali pada sebuah pemisahan. Dalam puisi lamur ditulis; kita akan selalu sendirian….dan seterusnya, lalu ada; dan doa jadi jembatan. Lebih lanjut, dalam puisi berjudul sirkus disebut ada pihak yang tak ingin lagi menurunkan wahyu, dan sebaliknya ada yang tak tertarik lagi untuk mendengarkan wahyu. Nampaknya, kedua pihak pada akhirnya akan berjalan sendiri-sendiri. Puncak dari keterpisahan itu tecermin dari puisi “pecahan kapal” di mana setelah aku lirik mendengar suara dari langit, lalu ia melontarkan pertanyaan, yang terjadi adalah “masih tak ada jawaban.”
Dari keterpisahan, aku berproses untuk menggali siapa sebenarnya diri. Dimulai dari puisi “di pulau terpencil” aku lirik mendapat pengetahuan dari ganggang merah bahwa “…kau adalah tuhan bagi sekalian satwa dan tumbuhan.” Yang direspon kemudian oleh aku lirik itu, “aku tak ingin jadi tuhanmu….” Seterusnya, dalam puisi “semacam cermin” aku lirik mengalami pencerahan setelah “…melihat wajahku di tubuh anjing… dan seterusnya.” Ia pun menggali kekurangan-kekurangan diri sekaligus mencari-cari kelebihan yang ada pada dirinya, dengan bertanya, berkaca, mengetahui, mengerti, mempertanyakan semua batasan dan norma, sampai akhirnya pada puisi “penunggang kuda” aku lirik itu memutuskan untuk belajar menjadi apapun yang ada di muka bumi ini.
Namun setelah keterpisahan dan pembelajaran itu, justru mengalirlah beraneka ayat, yang ujungnya (pada ayat ke sepuluh) adalah menyadari diri semata ketakterjangkauan pada apapun itu, dan membunuh keakuan yang merasa paling mengerti, paling benar, dan superioritas diri lainnya. Dan pada tingkatan ini, posisi sebagai nabi baru kembali diperbincangkan. Dan kembali, aku lirik pun menolak untuk ditahbiskan sebagai nabi baru, pun masih ada persyaratan bagi aku lirik untuk disebut sebagai nabi yaitu bertemu dengan malaikat nun. Malaikat yang pada akhirnya berujar pada aku lirik, “hatimu adalah agama, mengapa kau tak percaya padanya?” Pertanyaan yang menggugah setiap orang untuk segera sadar bahwa kepekaan dan kepedulian kita akan akan keadaan (sesama kita) itulah yang paling penting untuk dikedepankan.
Kepekaan dan kepedulian itu yang menjadi titik puncak dari puisi-puisi dalam buku puisi Nabi Baru ini ditekankan sekali lagi pada puisi berjudul “segala lenyap segala hilang” khususnya pada bagian awal yang berbunyi,”maka akan tertulis: bacalah semua risalah tentang hujan, bacalah semua risalah tentang kabut, bacalah semua risalah tentang kuda-kuda yang membelah laut, sapi-sapi yang dihajar air bah, kucing-kucing yang ditelan ikan hiu.”
Puisi-puisi dalam buku ini ditulis menjadi semacam rangkaian dari satu kisah yang sifatnya bertalian, bersusun searah, tetapi sebenarnya sirkular. Puisi pertama, “bermula dari tiada” - yang berisi; kita bermula dari tiada. berakhir pada cahaya - seolah menjadi teorema yang diuji sepanjang buku ini dan pada akhirnya dipertanyakan kembali pada puisi terakhir “segala lenyap, segala hilang” yang tak mendapat jawaban dari sosok malaikat nun.
Demikian pula kesadaran yang memuncak pada hasrat kenabian pun ditolak berkali-kali sampai akhirnya pun dilenyapkan pada kesadaran “karena tak ada lagi semesta.” Semua yang dianggap sangat penting, justru menjadi sangat tidak penting. Sekaligus sebaliknya, yang tidak dianggap penting, justru sangat penting, khususnya untuk menggugah kesadaran kita. Hal ini, misalnya, tecermin dalam penggambaran akan sosok nin yang setengah perempuan setengah laki-laki, yang bisa dianggap mewakili ketergugahan penyair pada mereka yang tidak berorientasi heteroseksual, teman-teman LGBTQ.
Meskipun berbentuk puisi bebas, jika dilakukan pembacaan, puisi-puisi Triyanto Triwikromo pada buku ini tetap tidak meninggalkan adanya rima. Meski tidak selalu unsur rima itu diletakkan pada suku kata pada akhir larik. Ambil contoh pada puisi “ayat nun” ada bagian berbunyi; jangan bayangkan ia menanggalkan sayap besi dan lalu duduk di kursi. jangan bayangkan ia mengajakku minum kopi….”
Hampir seluruh puisi pada buku ini ditulis dengan gaya percakapan dua pihak; aku dengan yang oleh aku disebut kau, aku dengan syekh cacing, aku dengan nin, aku dengan malaikat nun, aku dengan ganggang merah, dan sebagainya. syekh cacing mengingatkan kita akan kisah Syekh Siti Jenar seorang wali yang konon dihukum mati oleh para wali yang lain karena dianggap mengajarkan hal yang dianggap sebagai satu kesesatan. Dalam buku ini, diseret pula kisah-kisah dalam aneka kitab suci. Tentu untuk memberi gambaran tugas kenabian sebanyak-banyaknya. Yang ternyata dengan gambaran-gambaran tersebut, kita menjadi teringat pesan yang selalu disampaikan oleh Kang Ebet Kadarusman dalam acara takshow televisi “Memang baik jadi orang penting, tetapi jauh lebih penting untuk jadi orang baik." Atau, jika dihubungkan dengan judul buku ini, “Tak perlu menjadi nabi tapi hidup dan kehidupan kita harus selalu mencerminkan kasih dan cinta Tuhan pada umat manusia” sebab dengan begitu, kita akan selalu responsif terhadap hal-hal yang salah, supaya keadaan kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, bernegara selalu tetap jernih. Tetap bersih.

Jakarta, 10 September 2020

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun