Menjelajah Dunia Puisi Muammar Qadafi Muhajir
Menjelajah Dunia Puisi Muammar Qadafi Muhajir
Dalam puisi Mati Pelan-pelan, karya Pablo Neruda ditulis;
Siapa tak menjelajah,
siapa tak membaca,
siapa tak dengar musik,
siapa tak temukan kasih
dalam dirinya, ia mati pelan-pelan.
Maka dengan kesadaran semacam ini, saya rasa, sebagai seorang pemuda, Muammar Qadafi Muhajir bertekun melakukan penjelajahan dan pembacaan akan banyak hal. Dari karya-karya sastra lama, hal-hal yang berhubungan dengan iman dan ibadat (sebagai seorang muslim), lingkungan dan adat setempat, sampai kata-kata di dalam kamus bahasa pun dijelajahnya untuk menghasilkan puisi-puisi yang terkumpul dalam buku puisi berjudul Kubah Sajadah Murhum, buku debutnya ini.
Adalah Pustaka Kabanti yang disebut secara tersirat dalam satu puisi dalam buku ini menunjukkan tempat di mana Muammar ini bertumbuh kecintaannya akan sastra dan kabanti yaitu salah satu bentuk puisi tradisional yang panjang yang dibagi beberapa bait dan tiap baitnya berima sama pun dipelajari dan dibuat olehnya.
Hal-hal yang disebut di atas, dianggap Muammar sebagai teman seperjalanan, atau yang dalam bahasa Wolio (Buton) disebut sebagai Sabangka. Layaknya sikap seorang petualang dan sahabat seperjalanannya, kepercayaan menjadi kunci, ibarat Sancho dan Don Quixote. Namun tentunya, Muammar sebagai Don Quixote-nya, bukan Sancho.
Don muda dari Baubau ini juga menganggap ada ancaman yang harus ia perangi dalam penjelajahan ini. Berulangkali, misalnya, ia menyebut-nyebut nama neraka Hawiah. Bahkan dalam puisi "Ini Pinisi" jelas petualangan untuk mengalahkan musuh ditulisnya dalam kalimat langsung, "Huya, kita berangkat dari dermaga/ Di Tawang Alun, di lambung kata-kata/ Dan berangkat menyusur hilir terkilir/ Lalu di bundaran kita putar haluan/ Mencari jarak tembak/ Dan titik merah musuh bebuyutan!"
Selain menganggap ada yang mengancam, Muammar memulai perjalanan ini untuk membuktikan diri bukanlah seorang yang bertopang dagu saja menghadapi nasib yang kelak membayang magrib. Dalam puisi Itikad Tunas Bajo, ia merasa "(habis) tertantang oleh lautan telanjang" dan menyatakan diri sebagai "Pribumi Bajo (yang) sungguh tangguh..." dan bukanlah bagian dari mereka "yang terlalu lemah..."
Namun pemberontakan atau petualangan jelaslah tidak akan berhasil jika tidak ada yang menjadi tujuan. Puisi Ini Pinisi menyuratkan tujuan penjelajahan Muammar adalah "Hingga semua mengerti jati diri / Lalu membangkitkan diri sendiri..."
Demikian pula dengan cara Muammar menuliskan puisinya juga ada dalam puisi Ini Pinisi itu -- "Pinisi kita lambungnya tempat / bongkar muat senjata / untuk kita putar-balikkan kepada dunia." Dengan memahami ini, maka kita sebagai pembaca akan mendapatkan cara menikmati puisi-puisi dalam buku ini. Hal ini perlu dikemukakan karena puisi-puisi dalam buku ini disusun dengan tata letak imaji yang rumit. Semisal pada puisi Rampai Pualam akan kita temukan;
...
Dinastiku, kastilku, oh negaraku ragam warna
Selayak ribuan pualam
Dari gugusan jazirah
Yang terpisah tumpukan basah
Menyerikat pada siluet dinasti pertiwi,
Kiranya abadi.."
atau pada puisi Tiga Sisi Mata Sapi Ibu tertulis;
Piring remuk, retak begitu juga air matamu
Sedikit linang dengan beriak nestapa
Kau menampar kelopak mata sapi yang anyir terasi sebab
Penggorengan semalam seperti penghabisan bersama minyak peluhmu
...
Dengan menyadari kerumitan imaji yang dipasang dengan sengaja oleh Muammar, selayaknya Sancho memandang tingkah laku Don Quixote, kita diharapkan bisa melihat susunan kata-kata itu dengan lebih sederhana. Seperti pantai yang menikmati gempuran ombak, ia memanen pecahan kulit kerang meski kadang gagal menyisihkan sampah yang turut. Laku seperti itu penting dan diharapkan muncul saat membaca puisi-puisi Muammar agar setidaknya bisa menelisik dan mengira peristiwa apakah sebenarnya yang tengah dibahas dengan puisi itu. Benarkah ia naga atau sekadar kincir angin biasa?
Muammar juga sebenarnya menghindari keterseretannya akan puisi gelap sehingga terpaksa ia menulis catatan-catatan kaki untuk istilah yang ia buat. Hal ini diharapkan membantu pembaca untuk bisa masuk ke dunia puisi Muammar.
Sebagai telisik akhir, jika disimak pada puisi berjudul Hudaibiyah, di sana ada ditulis Muammar Al Fath ayat 24, hal ini menunjukkan puisi tersebut adalah cara Muammar memuisikan peristiwa terjadinya perjanjian Hudaibiyah. Di mana yang ia lakukan adalah mengganti kata-kata pada narasi aslinya dengan kata lainnya. Sebagai contoh kata Tuhan atau Allah ia ganti dengan "Yang Menggenggam Monopoli Jagat Raya" atau "Yang Menggenggam Cahaya."
Hal mengganggu pembacaan lainnya adalah soal pemenggalan kalimat semisal pada puisi Sekutu Mangrove tertulis;
...
Dan hari ini sudah tertancang beton berdebu/ yang ambisi menopang seratus lantai/Diskotik dan banjar kedai tuak yang terlanjur/ Menjabat matahari..."
Meski hal semacam ini bisa dimaklumi mengingat gaya menulis puisi Muammar yang panjang dan tanpa gunakan titik / koma, jika bisa diatur lebih cantik akan memudahkan pembacaan kita.
Semoga hasil pembacaan ini tak menyurutkan langkah penjelajahan Muammar. Teruslah mengeksplorasi gaya dan bentuk puisi. Selamat untuk debutnya.
Jakarta, 6 September 2020.
Comments