Terjemahan Puisi : Natalie Diaz - Puisi Cinta Pascakolonial

Natalie Diaz
Puisi Cinta Pascakolonial

Aku telah diajari bahwa batu kalsidoni bisa menyembuhkan gigitan ular,
dapat menghentikan pendarahan - kebanyakan orang sudah lupa
begitu perang berakhir. Perang berakhir
tergantung perang yang mana yang kau maksud: yang telah kita mulai,
yang sebelumnya, beribu tahun lalu dan setelahnya,
yang memulakan aku, dimana aku kalah dan menang—
dengan luka-luka yang selalu berkembang.
Aku dibangun dari pamrih. Jadi kukobarkan cinta dan buruknya —
selalu gelaran perang dari yang lain berderap melintasi
malam di gurun untuk kilasan meriam bagi kulit pucatmu
berdiam penuh dalam laguna perak dari asap pada dadamu.
Dari kuda gelap aku turun, membungkuk pada kau disana, mengantarmu
tarikan keras segala rasa hausku—
aku belajar Minum dalam negeri tandus.
Kita senang untuk menyakiti, meninggalkan aneka tanda
ukuran bebatuan – tiap mestika dipoles
oleh mulut-mulut kita. Aku, sekilasanmu, sesingkat rodamu
berputar – hijau berbintik merah—
batu-batu jasper dari keinginan-keinginan kita.
Selalu ada bunga liar dalam gurunku
yang perlu dua puluh tahun lamanya untuk berbunga
Benih-benihnya tidur seperti batuan jade di bawah pasiran arkosik
sampai tiba-tiba bandang melanda lembah sungai kering, mengangkat mereka
dalam gelombang tembaganya, membuka mereka dengan kenangan—
mereka ingat apa yang tuhan mereka bisikkan
dalam rusuk-rusuk mereka: Bangun dan menderita untuk hidupmu.
Dimana tangan-tanganmu telah menjadi berlian-berlian
pada dua bahuku, pada punggungku, paha-paha—
Aku adalah ularmu,
Aku dalam tanah untukmu.
Pinggulmu seringan kuarsa dan berbahaya,
doa domba jantan dengan tanduk berdiri naik ke gurun yang lembut
sebelum langit bulan November melepaskan banjir seratus tahun—
gurun ini kembali dengan tiba-tiba menjadi lautan masa lalu.
Tegak semak liar heliotrop, rumput kalajengking,
bunga facelia biru yang menjaga ungunya seperti tenggorokan yang mampu
menjaga bentuk dari tangan yang sempurna—
Tangan-tangan besar yang disebutnya sebagai milikku.
Hujan pada akhirnya akan muncul, atau tidak.
Dan sampai saat itu, kita sentuh tubuh kita seperti luka-luka—
Perang tak pernah berakhir dan bagaimanapun selalu dimulai lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Jendela Bus Kota

Kisah Pantekosta : Antara 2 Judul Film dan 2 Ekor Ayam Kampung

Embun